Koteka – Festival Budaya Lembah Baliem 2016
Memanfaatkan
bahan dari alam sebagai pakaian adalah salah satu kemampuan masyarakat Suku
Hubula memang harus diakui dan diapresiasi.
Cerita panjang
sejarah Koteka pun, konon berhubungan langsung dengan alam religi. Berawal dari
moyang mereka yang bernama Emogiki Pane dan Emobeku Pane berbuat dosa di sebuah
tempat bernama Egaidimi, lalu mereka diusir dalam keadaan telanjang. Pada
awalnya, dedaunan menjadi alat penutup kelamin. Namun, seiring berjalannya
waktu yang mulai mengubah pola pikir dan berpengaruh pada kebudayaan, maka
dedaunan tersebut diganti dengan Koteka yang tumbuh subur di kebun mereka yang
berpagar. Sampai hari ini, Koteka masih tetap digunakan walaupun tidak setiap
saat. Koteka ini hanya digunakan dalam acara-acara pertunjukan maupun upacara
adat, sebagai bukti kesetiaan masyarakat Papua terhadap ajaran Kabo Mana
(ajaran dasar hidup) yang telah turun-temurun.
Seyogyanya,
mereka tak sedang bertelanjang. Mereka hanya sedang menyandang kebanggaan
tradisi dan harga diri kesukuan yang sakral! Bahkan tak sembarang turis atau
pendatang dapat menggunakan Koteka dengan seenaknya. Harus meminta izin
sebelumnya kepada para tetua adat setempat. Seorang laki-laki sudah harus
mengenakan koteka sebagai busana kebanggaannya ketika menginjak usia 5-13
tahun.
koteka ini
berasal dari kulit buah labu-labuan atau Lagenaria
Sicecaria yang biasanya tumbuh ramai di atas Honai atau rumah adat
dari Suku Hubula dengan bentuk lonjong memanjang dan berwarna hijau dengan
jenis labu air serta memiliki tekstur kulit yang keras. Masyarakat menyebut
labu sebagai Bobbe. Di bagian kepala Koteka biasanya dipasangkan bulu Kasuari
atau Cendrawasih
Cara membuat Koteka pun tak begitu sulit. Bobbe tua
dipetik kemudian salah satu ujungnya dipotong lalu daging labu tersebut dapat
dikeruk hingga semua isinya keluar dan menyisakan lubang. Tujuannya adalah
untuk memudahkan masuknya alat kelamin pria ke dalam koteka tersebut. Setelah
dikeruk, koteka tadi akan dipanaskan di atas api hingga berubah warna menjadi
kecokelatan, lalu dilanjutkan dengan proses penjemuran yang akan memakan waktu
hingga seharian. Jika semua proses telah dilalui, maka pemasangan tali pada
labu adalah proses akhir sebelum Ketoka siap untuk dipakai.
Ukuran
koteka selalu disesuaikan dengan aktivitas sang pengguna, mau bekerja atau
upacara? Saat bekerja, yang digunakan adalah Koteka berukuran pendek agar ruang
gerak menjadi lebih leluasa, sedangkan yang panjang dan dlengkapi dengan
hiasan-hiasan biasanya digunakan saat upacara adat. Namun, setiap suku memiliki
perbedaan bentuk koteka. Misalnya anggota suku Yali yang menyukai bentuk labu
panjang, sedangkan orang Tiom biasanya memakai dua labu.
Juga
tersiar kabar bahwa semakin tinggi jabatan dan strata sosial dalam suku
tersebut, maka semakin besar juga ukuran Koteka yang disandang. Anak-anak
kepala suku biasanya memakai koteka yang berbentuk bulat. Pada kalangan raja
atau kepala suku, koteka akan menjadi warisan sakral kepada anak cucunya ketika
sang raja atau kepala suku wafat. Tak jauh bedanya dengan raja-raja pada
kerajaan Jawa yang mewariskan tongkat atau kerisnya kepada penerus garis
darahnya.
Jika ingin
melihat berbagai atraksi budaya yang begitu eksotis dengan mengenakan Koteka
oleh masyarakat pegunungan tengah Papua, Festival Budaya Lembah Baliem yang
akan berlangsung dari tanggal 08 hingga 10 Agustus 2016 akan menjadi momen yang
sangat tepat untuk menjadi bagian dari festival kebanggan masyarakat pegunungan
tengah Papua.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar