Tanggal
8 Agustus 2004 silam, pertama kali saya berjumpa dengan orang Balim, budaya dan
adat-istiadatnya. Saya tinggal bersama para calon fransiskan lainnya di bukit
Pikhe. Saya berjumpa dengan keluarga Bapa Kornelis, dekat gereja Pikhe dan
berbagai keluarga lainnya. Kontak dengan orang Balim secara intensif terjadi
pada saat saya live in di kampung Popugoba (Popuba), di Pugima. Saya
tinggal bersama masyarakat di sana selama satu bulan penuh (19 Desember 2004-19
Januari 2005). Selama melaksanakan live in di Popuba, saya tinggal bersama
keluarga Bapa Yusuf Hisage. Di kampung Popuba inilah, saya mengamati,
mempelajari dan mengalami cara hidup orang Balim. Cara mereka berbicara, makan,
minum, berjalan, bekerja, bercerita dan lain sebagainya. Secara khusus saya
mengamati peran perempuan di dalam kehidupan orang Balim. Cerita tentang
perempuan Balim yang tangguh sebenarnya sudah saya alami sejak pertama kali
pergi ke kampung Popuba pada 19 Desember 2004 silam. Dalam perjalanan ini, saya
membawa tas pakaian. Mama memikul anak di dalam noken dan satu noken lagi
berisi petatas dan sayur. Sementara Bapa Yusuf berjalan di depan, dengan
memegang parang. Tatkala kami mulai mendaki bukit, Mama meminta supaya dirinya
memikul tas saya. “Anak, ini jalan mendaki gunung. Nanti anak cape. Sini, kasih
tas Mama yang pikul,” pintanya. Saya kaget. “Mama, tidak usah. Saya bisa pikul
ini ransel. Kasian Mama sudah pikul dua noken,” jawabku. Bapa Yusuf yang jalan
di depan menoleh ke belakang dan berkata, “Anak kasih tasmu Mama
yang pikul. Itu Mama punya tugas,” tuturnya. Saya tetap tidak memberikan tas
itu. Selanjutnya, pada waktu tinggal bersama keluarga Bapa Yusuf di Popuba,
saya mengalami peran perempuan Balim yang sangat luar biasa itu. Pagi hari,
saya lihat Mama sudah bangun bakar dan atau rebus beberapa ubi. Seringkali,
pada malam hari Mama sudah bakar atau rebus dan meletakkannya di dalam noken
lalu menggantungnya di atas tungku. Mama memperhatikan makan dan minum untuk
kami. Sesudah itu, mama memberi makan pada babi, yang letaknya bersebelahan
dengan dapur. Kalau di dalam dapur sudah beres (manusia dan babi sudah makan),
Mama pergi ke kebun. Letak kebunnya sangat jauh. Beberapa kali saya mengikuti
Mama ke kebun. Kami mendaki bukit yang terjal. Beberapa kali, pewarta Yulianus
Hisage melontarkan kata-kata ini, “Ko macam perempuan saja. Ko ikut-ikut
perempuan ke kebun.” Pada kesempatan lain, saya dan Yulianus pergi ke
kebun. Kami bakar pisang dan makan. Saya bilang ke dia, “Kita bawa ini
pisang sebagian untuk ko punya istri ya.” Tetapi, ia menjawab, “Ko macam
perempuan saja. Perempuan yang harus masak kasih kita makan, bukan kita yang
masak untuk mereka makan.” Saya merenung. Di dalam hati saya berpikir,
“Perempuan Balim adalah manusia tangguh. Perempuan Balim bekerja pagi, siang, sore
dan malam untuk memberikan hidup bagi orang Balim. Perempuan Balim manusia
hebat, yang bekerja tanpa mengenal lelah demi keluarga. Perempuan Balim
menanggung begitu banyak pekerjaan, tetapi jarang marah atau mengeluh. Mereka
bekerja serius, tekun dan setia.” Selama tinggal di Popuba, saya hampir
tidak pernah menjumpai perempuan yang duduk-duduk saja. Setiap pagi perempuan
sudah sibuk di dapur, kandang babi dan pergi ke kebun. Saya melihat perempuan
selalu meletakkan noken di kepala dan sepotong kayu di tangan. Noken untuk isi
ubi dan anak. Kayu untuk menyiangi ubi di kebun. Pada waktu pulang dari kebun,
mereka singgah untuk mencuci ubi di kolam. Sesudah itu, mereka pulang ke rumah.
Di rumah mereka memberi makan babi di kandang. Kemudian baru masak untuk makan
malam. Saya berani memberikan kesaksian bahwa perempuan Balim adalah pembawa
kehidupan bagi orang Balim. Perempuan Balim itu nit nyewe apikogo hagatnyawigin
meke kiaga. Makna ini layak dan pantas disandang oleh perempuan Balim karena
kerja kerasnya. Saya tahu bahwa orang Balim sering memandang bahwa perempuan
juga pembawa masalah himi/homi wene nyekimo wolok.Tetapi, saya tidak mau
membicarakannya di sini, sebab hakikat perempuan Balim adalah pekerja keras,
pembawa kehidupan dan keselamatan bagi orang Balim. Seorang laki-laki Balim
yang hebat, selalu lahir dari perempuan Balim yang hebat. Tanpa perempuan,
laki-laki Balim kepu/doni, tidak ada apa-apanya. Saya tidak bermaksud
merendahkan laki-laki Balim, tetapi mau mengungkapkan dengan jujur bahwa perempuan
Balim adalah manusia tangguh yang bisa membawa perubahan dan masa depan orang
Balim. Karena itu, perempuan Balim, khususnya yang sudah tinggal di kota dan
melupakan identitasnya sebagai manusia tangguh untuk bangkit kembali dan
melakukan gerakan perubahan, demi masa depan Papua yang lebih baik. Saat ini,
banyak perempuan Balim menempuh pendidikan di berbagai kota di Papua dan
Indonesia. Artinya, secara fisik perempuan Balim tidak lagi secara langsung
pergi ke kebun dan memikul noken. Perempuan Balim juga tidak lagi memelihara
babi di kandang. Kini, perempuan Balim berjuang meraih cita-cita dan masa depan
melalui buku dan pena. Kalau di kampung perempuan pergi ke kebun pikul noken
dan bawa kayu potong untuk menyiangi tanaman, maka sekarang perempuan Balim
pergi ke sekolah atau kampus membawa buku dan pena. Setiap keluar dari rumah
atau asrama menuju sekolah atau kampus pasti membawa buku dan pena. Buku dan
pena menjadi alat dan sarana untuk menata hidup dan masa depan. Kalau di
kampung, uang, makanan, minuman, dan lain sebagainya ada di dalam tanah. Saat
ini, masa depan yang baik itu ada pada buku dan pena. Apakah perempuan Balim
sudah sungguh-sungguh memegang buku? Apakah perempuan Balim sudah
sungguh-sungguh membaca buku? Apakah perempuan Balim sudah sungguh-sungguh
memegang pena dan menulis? Kita bisa bertanya pada diri masing-masing. Kita
tidak bisa menyangkal bahwa perempuan Balim sudah mulai lepas kebun dan noken
di kepala. Ini fakta sosial yang sedang terjadi. Apakah perempuan Balim setelah
melepas kebun dan noken, mau memakai buku dan pena untuk berjuang demi masa
depan orang Balim? Apakah perempuan Balim berani mentransformasi kebun dan
noken ke dalam buku dan pena? Kalau di kampung perempuan Balim bekerja keras
siang malam untuk menghidupi keluarga, mengapa pada saat menempuh pendidikan di
kota perempuan Balim menjadi malas belajar, malas membaca, malas menulis dan
malas-malas lainnya? Mengapa situasi ini terjadi? Apa yang sedang salah? Kita
perlu mencari tahu dan mencarikan alternatifnya. Perempuan Balim yang sedang
belajar di kota harus kembali ke semangat dasarnya sebagai pembawa dan penerus
kehidupan orang Balim. Caranya sederhana sekali, mulailah tekun belajar membaca
buku-buku bermutu dan menulis kisah-kisah inspiratif untuk memberikan pencerahan
bagi rakyat di negeri ini. Perempuan Balim harus menjadi motor dan penggerak
perubahan di lembah Balim. Perempuan Balim harus menyiapkan generasi masa depan
tanah Papua. Karena itu, sekali lagi perempuan Balim harus tekun membaca dan
menulis. Saat ini, kita sudah mulai meretas perjumpaan untuk secara serius
belajar membaca dan menulis. Kita mau saling membuka diri dan mengingatkan
untuk senantias membaca buku dan menulis. Kita berharap perempuan Balim bisa
menjadi cahaya dan terang untuk rakyat di tanah ini yang sedang menderita dalam
berbagai aspek kehidupan
pendidikan, kesehatan, ekonomi,
perumahan, listrik dan lain sebagainya. Semua itu bisa berjalan kalau perempuan
Balim kembali pada hakikat dirinya sebagai pengemban tugas membawa kehidupan
bagi orang Balim. Saya percaya di tangan perempuan Balim, gerakan menulis ini
akan bertumbuh dan berbuah lebat. Sebagaimana perempuan Balim memelihara kebun
dan merajut noken, demikian halnya kalian akan memelihara dan menumbuhkan
semangat membaca dan menulis untuk masa depan Papua yang lebih baik. Semoga
alam semesta, para leluhur dan sang Pencipta merestui niat baik kita untuk
menanam dan merawat benih-benih menulis di tanah ini. [Abepura, 19 Mei 2016;
09.27 WIT].
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/petruspitsupardijilung/perempuan-balim-dan-gerakan-menulis-dari-kebun-dan-noken-ke-buku-dan-pena
Tidak ada komentar:
Posting Komentar