KATA Max Binur,
[1] siklus seni dan budaya manusia
Papua – kalau mereka tidak melakukan aktivitas kebudayaan mereka, mereka akan
merasa kekosongan dan ada sesuatu yang hilang dalam diri mereka. Setiap
anak-anak Papua yang lahir itu jiwa seninya sudah ada, tinggal bagaimana diolah
dan dikembangkan.
Di era seni
yang kontemporer saat ini, tak banyak kita ketahui tentang karya seni yang
benar-benar membicarakan persoalan-persoalan yang mendasar tentang Papua.
Bahkan, rata-rata karya seni yang sering ditampilkan di berbagai tempat di
Indonesia, secara eksplisit mendeskripsikan pembiaran terhadap
persoalan-persoalan yang terjadi terhadap tanah dan manusia Papua. Sehingga
dari waktu ke waktu tidak ada respon yang positif dari bidang seni sehingga
perkembangannya berjalan begitu saja.
Nah, kali
ini beda. Bunga rampai itu tumbuh dalam dua perupa muda Papua
[2]: Ignatius Dicky Takndare,
putera kelahiran Sentani, 6 Juni 1988 dan Albertho Wanma,
putera kelahiran Biak, 9 Agustus 1986. Bagaimana kesenian mampu berkolaborasi
dan bertransformasi dengan persoalan-persoalan nyata, adalah problem utama
mereka berdua. Ini merupakan persoalan kemanusiaan yang diekspresikan dalam
karya seni lukis dan patung. Duet pameran ini diselenggarakan
[3] pada 15 Oktober – 23 Oktober
2016 di Bentara Budaya, Yogyakarta.
Untuk
mengetahui sejauhmana perkembangan, latar belakang, harapan dan pesan kedua
perupa ini, Mikael Kudiai mewawancarainya untuk Papua Bicara. Berikut
wawancara lengkapnya:
Bagaimana
Anda melihat perkembangan seni, terutama seni patung dan lukis di Papua?
Albertho
Wanma: Seni dan
budaya di Papua merupakan sesuatu yang sakral dan sangat bernilai. Jadi saya
pikir seni itu tidak akan pernah hilang, tetapi dia akan terus bertumbuh dan
bergerak terus secara perlahan. Lalu perkembangan seni yang sekarang? Saya
pikir perkembangan seni di Papua sudah mulai melihat peluang ini bahwa betapa
pentingnya seni dan budaya dengan mengikuti perkembangan teknologi. Misalnya
seni musik yang dulunya mereka bermain dengan ukulele, gitar dan tifa, sekarang
sudah dengan musik-musik modern dengan mengadopsi instrumen dan lirik dari
luar. Tetapi saya pikir itu bukan sebuah masalah. Ini sesuatu yang harus kita
terima.
Seni rupa
di Papua yang mungkin pergerakannya masih belum terasa dibandingkan seni yang
lainnya, saya pikir pasti banyak kawan-kawan dan anak-anak muda yang secara
diam-diam terus berkarya. Jadi menurut saya seni rupa itu akan terus berkembang.
Ignasius
Dicky Takndare:
Yang jelas bahwa seni di Papua merupakan bagian dari manusia Papua itu sendiri.
Misal seperti orang Biak, dorang (mereka) punya pepatah yang
mengatakan bahwa, kami tidak bernyanyi berarti kami mati. Jadi artinya seni itu
sudah bagian dalam kehidupan sehari-hari. Nah, seni rupa sendiri mulai
berkembang, misal kita bisa lihat Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) sudah
dibangun di Jayapura, banyaknya sanggar-sanggar seni yang sudah dibangun, dan
masih banyak lagi.
Yang jelas
dan paling terpenting adalah anak-anak muda sekarang sudah melihat seni sebagai
suatu pilihan profesional. Jadi kita punya banyak sekali anak-anak muda yang
memiliki potensi yang sangat luar biasa dalam bidang seni. Yang menjadi
persoalannya adalah dorang belum memilih seni sebagai pilihan
profesional. Maksudnya belum banyak anak-anak muda yang benar-benar mau
konsisten dalam bidang itu.
Belakangan
saya perhatikan banyak pergolakan yang terjadi di Papua sampai kita bicara
tentang perihal identitas, dan orang mulai sadar bahwa seni merupakan salah
satu cara dan jalan untuk berbicara tentang persoalan Papua dan mempertahankan
identitas kita.
Saya
perhatikan perkembangan yang terjadi juga masih sporadis, artinya bahwa kami
masih bekerja sendiri-sendiri dan bergerak belum serentak. Kami berpikir bahwa
pelan-pelan tapi pasti itu akan berkembang dan menjadi sebuah pergerakan seni
rupa yang besar untuk Papua.
Apa yang
melatarbelakangi Anda melakukan pameran seni dengan tema Remahili?
Ignasius
Dicky Takndare:
Latar belakang atau motivasi kami melakukan pameran dengan tema Remahili itu
menjadi sebuah kewajiban kita sebagai perupa. Dalam tanda petik bahwa pemain
bola harus bermain bola, pemain bulu tangkis harus bermain bulu tangkis,
penyanyi harus bernyanyi, kami perupa juga harus pameran.
Mengapa
kami memilih tema pameran ini adalah Remahili? Ada banyak faktor, misal
istilahnya yang orang bicarakan tentang pelestarian budaya dan lainnya. Nah,
ini sebenarnya salah satu cara melestarikan budaya dengan bagaimana kita
menghadapi dunia dari luar yang ada datang ke dalam diri orang Papua itu
sendiri.
Remahili
itu adalah sebuah budaya atau tradisi di masyarakat Sentani, Papua. Suku-suku
lain di Papua juga pasti ada dengan sebutannya masing-masing. Remahili yang
berarti ratapan itu adalah kebiasaan-kebiasaan atau budaya ketika ada sanak
keluarga meninggal dunia, saudara-saudara dan kawan-kawannya datang dan
meratapi bersama keluarganya sambil bernyanyi dan meratapi kepergian saudara
dan keluarga mereka.
Nah,
Remahili ini spirit atau semangatnya kami ambil. Jadi pameran kami tidak
membahas Remahili itu seperti ini atau itu, tetapi Remahili ini, semangat,
spirit, jiwa dan ratapannya kami ambil untuk metafora penggambaran bahwa
pameran ini adalah sebuah Remahili tersendiri untuk meratapi kondisi situasi
dan persoalan seputar kemanusiaan. Jadi Remahili adalah sebuah ratapan terhadap
masalah kemanusiaan di atas tanah Papua.
Albertho
Wanma: Jadi, kalau
olahragawan berarti dia harus bertanding di lapangan. Kalau perupa, dia harus
melakukan pameran. Jadi yang menjadi latar belakang kami berdua melakukan
kegiatan pemeran ini adalah karena kami dua adalah perupa, maka harus buat
pameran.
Dengan
berpameran, yang menjadi harapan keinginan, kegelisahan kita dengan suara-suara
yang kita mau sampaikan itu bisa terealisasi lewat ruang-ruang seperti ini.
Maka dari itu, kami berdua memakai wadah dan cara seperti ini kemudian bisa
menyuarakan aspirasi-aspirasi persoalan Papua. Saya pikir hal ini yang
melatarbelakangi, mengapa kami berdua membuat pameran Remahili ini.
Ignasius
Dicky Takndare: Dan
salah satu motivasinya adalah ya, ini respon dan sikap kami secara pribadi
maupun kelompok tentang masalah Papua. Artinya, kalau ko (Anda)
peduli dengan Papua, apa yang ko mau bikin dengan menyikapi persoalan Papua
ini. Kalau kami dua lewat pameran seni.
Bagaimana
Anda memaknai karya-karya Anda?
Ignasius
Dicky Takndare:
Jadi secara garis besar, karya itu muncul dari pikiran dan hati. Dari
kegelisahan diri kita masing-masing. Apa yang muncul dari diri kita adalah kita
sendiri. Lukisannya Dicky berarti dia adalah sosok Dicky, dan karya patungnya
Bertho adalah sosok Bertho. Sama seperti kata-katamu itu menjelaskan, ko itu
siapa.
Dari
karya-karya ini kita bicara. Artinya bahwa ini adalah ungkapan dari hati dan
pikiran kita sendiri. Dalam hal ini, seni itu adalah sebuah suara, istilahnya
orang sastra bilang kata-kata, penyanyi bilang nyanyian, pemain sepak bola dorang bilang dorang punya
gaya main. Kami punya itu lewat seni ini.
Albertho
Wanma: Seni rupa
yang kita tampilkan di sini adalah sebuah pengalaman empiris yang keluar dalam
bentuk-bentuk pameran seni. Nah, kebetulan saya seni patung, karya-karya seni
di sini, lahir dari pengalaman, ide, gagasan, lalu melahirkan sebuah proses
kreatif itu.
Bagaimana
Anda mendesktipsikan karya-karya Anda, misal satu karya patung atau lukis?
Albertho
Wanma: Nah, karya
seni yang bentuknya peluru ini saya beri nama Romamun. Romamun dalam
bahasa Biak berasal dari kata Mamun atau Mun yang artinya
adalah membunuh. Kalau sudah Romamun berarti berkembang menjadi kata
sifat, yang artinya segala sesuatu yang bisa menimbulkan bahaya yang mengancam.
Misalnya kalau kita menyelam ke dalam laut terus ada ikan besar yang berbahaya,
itu mereka bilang itu adalah Romamun. Nah bahasa seperti ini menjadi judul
dalam patung peluru itu.
Kalau kita
perhatikan seperti peluru, ini terdiri dari beberapa material: ada batu, kayu
dan tembaga dan benda-benda lain seperti kunci, gembok dan lain sebagainya yang
bisa mewakili atau bisa mengomunikasikan apa yang disampaikan.
Nah, batu
di sini artinya potensi alam, kayu artinya hasil bumi, dan tembaga yang artinya
material logam yang ada di Papua, yang ternyata sumber daya alam yang, kata
orang, melimpah tetapi justru menjadi Romamun buat masyarakat Papua
sendiri.
Ignasius
Dicky Takndare:
Misal karya salib. Di atas kepalanya terpasang alasan mengapa Dia dihukum. Cuma
di atas salib itu saya tulis, Papua Yaswar Au yang dalam bahasa Biak
artinya “Papua saya mencintaimu”.
Salib itu
tidak secara langsung berbicara tentang sosok Yesus, tetapi secara implisit
berbicara tentang orang Papua sendiri. Artinya, Anda harus seperti Dia. Seperti
Dia yang berani bicara yang benar, berani suarakan kepentingan rakyat kecil,
tetap mengasihi, dan berani melawan birokrasi pemerintahan yang menindas.
Banyak anak-anak Papua yang harus sama seperti Dia. Bahkan mati karena apa yang
dibela. Papua Yaswar Au.
Jadi di
atas kepalanya mengapa tertulis dia harus di hukum, karena dia (kitorang anak
Papua) cinta Papua.
Pameran
Anda kan cukup baru. Apa harapan-harapan Anda ke depan seusai membuat pameran
ini?
Ignasius
Dicky Takndare:
Harapan paling utama adalah jelas orang harus bisa ingin tahu, kenapa anak
Papua melakukan Remahili? Kenapa mereka meratap? Ada apa di balik ratapan itu?
Apa yang mereka ratapkan?
Nah,
karya-karya ini menjadi stimulasi dan mungkin dengan ini orang ingin belajar
atau mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi di Papua. Sebenarnya, di Papua
itu ada masalah apa? Apakah sekadar masalah Freeport? Apakah sekeadar masalah
alam? Dan lain sebagainya.
Jadi, kami
ingin mengajak orang untuk melihat Papua sebagai sebuah masalah kemanusiaan.
Dan itu bukan hanya sekadar masalah orang Papua, tetapi itu masalah kemanusiaan
– masalah kita bersama.
Orang Papua
perlu hidup damai dan rukun – kau juga perlu hidup rukun. Jadi masalah orang
Papua itu masalah kemanusiaan – masalah kita bersama.
Albertho
Wanma: Ketika kita
berbicara tentang Papua, orang dengar tentang Papua, sesuatu yang muncul di
benak mereka adalah honai, koteka, rumbai-rumbai, sagu, papeda, dan lain
sebagainya. Kenapa saya bilang seperti ini? Ketika orang dengar tentang Papua,
yang muncul di situ adalah seni dan budaya.
Makanya
harapan saya adalah betapa pentingnya bidang ini diperhatikan dan
diprioritaskan. Orang tidak kenal Papua dengan teknologi. Orang tidak kenal
Papua dengan bidang-bidang yang lain. Harapan saya ya, seni dan budaya harus
diperhatikan dan diprioritaskan, terlepas dari tema pameran ini. Supaya
diperhatikan dan terlestari teman-teman yang punya potensi di bidang ini.
Ignasius
Dicky Takndare:
Terus harapan juga terhadap teman-teman, saudara-saudara, adik-adik yang punya
potensi di bidang seni juga, ketika dorang (mereka) tahu kami sedang bergerak
seperti ini, dorang juga harus bikin seperti ini dengan dorang punya gaya,
keindahan, dan cara tersendiri dalam bentuk pameran dan lain-lainnya. Jadi kita
semua bergerak dengan kesenian. Itu sangat sehat buat saya.
Albertho
Wanma: Dengan
pameran ini juga, kami mau menunjukkan kepada masyarakat di Yogyakarta bahwa
anak-anak Papua jangan selalu diidentikkan dengan hal-hal yang negative,
seperti kriminal, kasar dan lain sebagainya. Kita orang Papua juga punya
sesuatu yang baik dan positif yang bisa dikerjakan di sini.
Sebagian dari karya Dicky Takndare dan Albertho Wanma, yang dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta,
15-23 Oktober 2016. Foto diambil dari www.tabloidjubi.com
15-23 Oktober 2016. Foto diambil dari www.tabloidjubi.com
Yang
menyaksikan pameran Anda kan tak hanya orang Papua, juga ada orang non Papua.
Apa harapan Anda mengenai hal ini?
Ignasius
Dicky Takndare: Kalau saya secara pribadi, kembali ke konsep humanis atau
kemanusiaan itu sendiri. Bahwa orang semakin dewasa harus menyadari kalau
masalah kemanusiaan ini tidak terbatas atau tertekan dalam suatu kumpulan
etnis, atau latar belakang yang sama, tetapi ini masalah kemanusiaan – masalah
kita bersama.
Yang paling
terutama, warga Yogyakarta bisa menerima ini sebagai suatu yang sangat sehat.
Pameran itu sangat sehat. Terlepas dari semua pandangan yang orang pikirkan
tentang Papua. Pameran itu sesuatu yang sangat sehat, sangat sehat. Sangat
sehat.
Kalau
mereka, misalnya, katakanlah menyoroti anak Papua atau masyarakat Papua dengan
hal-hal yang negatif, apakah pameran itu sesuatu yang negatif? Tidak to?
Pameran itu sesuatu yang sangat sehat.
Jadi kita
tidak bisa memaksa orang untuk mengikuti satu paham. Misalnya, paham kirinya
orang Papua seperti apa? Orang ini seperti apa? Tetapi kami berdiri di atas
sudut pandang kemanusiaan. Dan itu seusatu yang netral. Kemanusiaan itu milik
semua orang, terlepas dari semua orang punya pandangan masing-masing.
Artinya,
kalau kita lihat dari apa yang telah kami lewati, Bentara Budaya sudah
memberikan tempat, kami juga dapat bantuan dari dinas kebudayaan, kami percaya
bahwa warga Yogyakarta membuka diri untuk hal-hal yang sehat seperti ini. Kami
merasa senang karena sebagian warga Yogyakarta sempat hadir, seperti Romo
Sindhunata, S.J, Andrew dari Anti Tank, dan lain-lainnya. Dan ini menurut kami
sangat luar biasa.
Apa yang
kami berikan dapat menjadi ketenteraman dan memberikan warna tersendiri dalam
seni di Yogyakarta. Di Yogyakarta kami sudah dengar, anak-anak Kalimantan bisa
membuat Gawei Dayak, dan lain-lainnya. Kita anak-anak Papua harus mempunyai
kegiatan yang sehat seperti itu juga.
Albertho
Wanma: Sebelum pameran ini kami selenggarakan dan undangan dan poster tersebar
di mana-mana, saya pikir pasti imajinasi teman-teman yang sudah melihat
undangan tersebut, terutama orang non Papua, yang terpikirkan dalam benak
mereka pasti seni-seni tradisi. Seperti parade budaya, lukisan-lukisan yang
berbaur motif-motif, pentas-pentas budaya, dan lain sebagainya, karena ini yang
sering muncul di beberapa tempat di Yogyakarta.
Tetapi
ketika mereka datang dan menyaksikan langsung pameran ini, ternyata berbeda
sekali dengan apa yang mereka pikirkan sejak awal.
Jadi yang
saya mau katakan bahwa seni rupa itu berkembang, mulai dari seni tradisional
hingga yang kontemporer. Seni rupa yang kami buat di sini adalah seni rupa yang
kontemporer dan lebih ke arah profesional.
Lalu yang
saya mau sampaikan lagi adalah kita juga bisa. Kita juga bisa berkembang. Kita
juga bisa bersaing di era kontemporer seperti itu. Teman-teman juga pasti punya
potensi.
Seni rupa
kontemporer itu sebuah perkembangan seni, dimana kita bisa menyampaikan
kegelisahan kita, apa yang kita pikirkan tanpa dibatasi oleh institusi atau
kelompok dan individu. Karena seni rupa kontemporer sifatnya universal dan
bebas yang sangat netral. Jadi kita bergerak melalui seni rupa yang
kontemporer, karena seni-seni tradisi itu justru terbatas ruang geraknya.
Saya pikir
ini hal yang positif sekali ketika teman-teman datang, orang-orang datang
melihat langsung pameran ini dan mengatakan, kok orang Papua bisa memunculkan
seni yang realis, simbolis, yang berbeda dengan gambaran atau apa yang mereka
sangka sebelumnya. Itu sesuatu yang positif.
Ignasius
Dicky Takndare: Terlepas dari itu, ketika orang melihat hasil karya-karya kami,
pasti akan memunculkan banyak tanggapan, dan memang, masalah di Papua juga
banyak tanggapan dan respon yang berbeda-beda. Ada yang bicara, “ah pasti ini
anak-anak garis kiri”, atau politik, atau segala macamnya. Terserah itu
tanggapannya orang. Tetapi di sini kami ingin tegaskan bahwa Remahili kami di
Bentara Budaya pada tanggal 15-23 Oktober 2016 itu bukan suara politik. Ini
suara kemanusiaan. Sama sekali bukan suara politik, walau pun akan ada
tanggapan yang berbeda, tetapi kami tidak permasalahkan itu, terserah mereka
melihat apa yang kami tampilkan di sini. Yang pertama, terpenting adalah
warga non Papua bisa melihat ini sebagai bentuk apresiasi seni; dan yang kedua,
bisa memaknai suatu aktivitas yang sehat.
Menurut
Anda, apa yang harus dilakukan oleh generasi muda Papua dalam hal seni di
tengah-tengah persoalan Papua yang cukup kompleks saat ini?
Ignasius
Dicky Takndare: Kami berharap harus terus berkarya, jangan berhenti berkarya.
Seniman-seniman muda, tua di Papua dan di luar Papua jangan berhenti berkarya,
sekali lagi. Masalah arus globalisasi yang sangat besar datang di Papua, kita
seniman merespon hal ini dengan cara seni, bagaimana kita menghidupi budaya
dengan tidak meninggalkan budaya kita sendiri di arus globalisasi ini. Ini
suatu pekerjaan yang cukup berat, tetapi saya pikir anak-anak Papua pasti bisa.
Harapan dari saya ya, kita harus tetap berkarya. Pilihannya cuma dua, ketika
menghadapi arus globalisasi, berhenti berkarya atau mau tetap berkarya. Itu
saja.
Albertho
Wanma: Dalam konteks pameran ini, saya pikir ini merupakan suatu momentum yang
positif sekali untuk pergerakan kita ke depan dalam bidang seni. Kita harus
terus berkarya dan berkembang terus dengan mengikuti perkembangan arus
globalisasi. Karena kita tidak bisa sembunyi dari itu.
Di tengah-tengah
arus globalisasi yang cukup besar, apa sikap dan harapan Anda untuk generasi
muda untuk tetap mempertahankan budaya, dalam hal ini seni di Papua?
Ignasius
Dicky Takndare: Nah, itu lagi yang saya mau katakan bahwa, apa yang terjadi di
Papua itu harus dibicarakan supaya keluar dan dikenal orang lebih luas. Kalau
kita diam, terus orang lain yang bicara, itu sangat berbahaya. Nanti dorang
yang bicara terus dan orang Papua jadi penonton saja. Ini sangat bahaya bagi
generasi muda. Terus berkarya supaya orang tahu Papua dari orang Papua sendiri.
Itu lebih baik.
Albertho
Wanma: Jadi, sebagai seniman-seniman muda, kita punya tanggung jawab untuk
menjaga dan mengembangkannya. Kalau bukan kita yang kerja, jangan marah kalau
orang lain yang bekerja dan menghancurkan kitorang.
Apa pesan
Anda untuk anak muda Papua sekarang dalam bidang seni dan bidang-bidang lainnya?
Ignasius
Dicky Takndare: Saya secara pribadi ingin berpesan kepada anak-anak muda bahwa
bikin sesuatu untuk Papua dengan ko punya cara sendiri. Bikin sesuatu yang
berguna. Terus jangan lupa dengan ko punya tradisi atau budaya leluhur itu
jangan sekali-kali ko lupakan itu. Itu salah satu pondasi yang sangat kuat
untuk melawan arus-arus yang datang dari luar.
Albertho
Wanma: Dalam sebuah buku, saya lupa judulnya, dijelaskan bahwa ada beberapa
pilar penting yang menopang sebuah kekuasaan atau sebuah Negara, salah satunya
seni. Berangkat dari konteks ini, satu ajakan yang sering saya sampaikan kepada
teman-teman, khususnya anak-anak muda yang saya ketemu di jalan, dan
dimana-mana yang saya sering ngobrol, saya sering bilang sama mereka bahwa
Papua itu orang lihat macam lahan basah. Kita punya sumber daya alam orang lain
sudah ambil dan curi, dorang sudah eksploitasi di mana-mana. Semua hal dorang
sudah ambil. Seni ini yang mungkin belum terlalu berpotensi untuk diambil,
sehingga orang belum lihat hal ini. Tetapi dalam beberapa tahun terakhir, sudah
mulai terlihat bahwa seni juga sudah mulai dijadikan sebagai lahan basah yang
siap untuk diambil juga.
Ini satu
ajakan yang penting sekali, jangan, jangan sampai bidang ini hancur seperti
kitorang punya kekayaan lain yang orang sudah ambil dan mencurinya. Jadi ajakan
yang penting, mari kitorang selamatkan kitorang punya seni yang cukup kaya ini.
Seni apa pun itu. Seni pertunjukan, rupa, teater, dan lain sebagainya. Kitorang
harus jaga sama-sama melestarikannya demi kitorang punya masa depan Papua.
Ada hal-hal
lain yang ingin Anda sampaikan?
Ignasius
Dicky Takndare: Kami di Yogyakarta, kami berpesan supaya, buat anak-anak Papua
yang punya potensi seni atau punya ketertarikan dalam seni rupa khususnya,
kalau bisa bertemu kami, mari sudah. Kita punya banyak hal yang harus kitorang
buat sama-sama. Secara sehat dalam ranah seni. Artinya, semakin banyak
anak-anak Papua yang bisa kita ajak bersama-sama fokus di bidang seni, akan
semakin baik.
Albertho
Wanma: Supaya Papua itu berkembang dan maju, kitorang harus punya banyak tenaga
profesional yang heterogen, bukan homogen saja. Kenapa saya katakan seperti
ini? Supaya teman-teman dan adik-adik yang baru selesai dari pendidikan SMA,
jangan cari aman atau tempat pendidikan yang tidak bisa mendidik diri kita
sendiri. Kalau ko punya potensi melukis, sampaikan sama ko punya orang tua, bahwa
dengan seni ko bisa hidup.
Saya punya
satu guru SMA di Biak, dia sering bilang kepada saya bahwa pilih lah profesi
yang langka. Kalau ko bisa jadi ahli kimia, ko harus benar-benar fokus dalam
bidang itu. Jangan hanya jadi polisi atau tentara yang nantinya akan balik
bunuh kitorang punya sudara sendiri. Kasih tahu orang tua, bahwa saya punya
potensi yang bisa mencerdaskan dan mengembangkan apa yang saya mau. Kalau
teman-teman yang punya potensi di bidang seni, kasih tahu orang tua dan
teman-teman semua, bahwa dengan seni saya bisa hidup. Ketika banyak generasi
muda yang muncul dengan profesi-profesi yang ingin diteladani, saya pikir Papua
akan unggul di bidang-bidang demi Papua yang lebih baik. Saya pikir seperti
itu. ***
————-
[1] Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=-4OQ4jhoodQ dikutip
pada 17 Oktober 2016
[2] Lihat: https://drive.google.com/file/d/0B5l0HlzQiOBcU1Fuckd0XzlTZUk/view dikutip
pada 16 Oktober 2016
[3] Lihat: https://www.youtube.com/watch?v=lZElj7Ac7g8 dikutip
pada 17 Oktober 2016
Tidak ada komentar:
Posting Komentar