
Tak ada anak Indonesia yang bodoh. Itulah yang diyakini pendiri Surya Institute, Prof Yohanes Surya PhD. Berbekal keyakinan tersebut, dia merekrut 27 anak Papua secara acak, untuk digembleng di lembaga yang dipimpinnya. Kini, setelah 10 bulan, sebagian di antara mereka siap diterjunkan dalam ajang olimpiade(www.jpnn.com).
Inilah yang dinamakan pengabdian pada bangsa dan
negara heuheuheu ya meskipun badan rada malas tapi tugas mesti dilaksanakan.
Ditemani siaran Metro tv (secara gua tinggal di Kuala Lumpur dan kerja di KBRI
ya syukurnya masih bisa nonton siaran tv swasta indonesia) gua menghabiskan
detik demi detik hingga akhirnya ada satu program namanya “Genta Demokrasi” kebetulan ada liputan mengenai Yohanes Surya sedang
mengajari beberapa anak papua tentang Fisika dan Matematika. Gua jadi tertegun
tiba-tiba saja bulu kuduk merinding weits tenang dulu bukan gara-gara gua lihat
hantu yang konon katanya sering nengokin petugas piket malam(amit-amit
daaaaaaah) tapi ada perasaan bangga di dalam diri, terharu yang amat sangat
betapa gua bangga menjadi orang papua.
Well
gua sendiri merasakan bagaimana pendidikan yang ada di sana, terutama
kesempatan untuk bisa ikut bersaing dengan propinsi lain dirasa sangat jauh.
Kemampuan masyarakat untuk menerima pembaharuan, modernisasi dirasa masih jauh
dari harapan. Jangankan begitu peralatan pelengkap untuk belajar saja masih
terbatas, apalagi komputer hmmm waktu gua sekolah dulu itu barang paling
mahal..internet aja baru gua tahu ketika kuliah.
Dipapua
ada penggolongan untuk beberapa masyarakat, Papua 1 adalah anak-anak yang
ortunya asli papua,lahir dan besar dipapua, Papua 2 adalah anak-anak yang lahir
besar di papua meskipun bukan orang papua asli, Papua 3 adalah pendatang yang
bermukim di Papua. Yach gua termasuk golongan Papua 2, tanpa rambut keriting
dan kulit lebih sawo matang heuheuheu…jadi narsis begini. Kadang karna masalah
inipun ada diskriminasi tertentu misalnya saja beasiswa. Untuk anak-anak Papua
1 yang berprestasi mereka boleh milih Kuliah dimana saja yang termasuk list
Pemda dan dibiayai hingga lulus wew kadang-kadang gua berharap bisa merubah
warna kulit dan rambut demi segala kemudahan seperti itu.
Papua
kaya dengan hasil bumi, mulai dari tembaga, emas, marmer, dll namun sayang
masyarakat setempat masih belum bisa mengelola sendiri. Kalo ngomongin Papua
itu ga terbatas hanya di Tembaga pura, Timika, Jayapura atau Wamena tapi masih
banyak wilayah lain yang menyimpan kekayaan alam contohnya aja Nabire, tanah
kelahiran gua dulu dikenal kota singkong karna loe mo nancep singkong di tanah
manapun pasti tumbuh subur…ya asal jangan dipekarangan orang itu bencana
namanya wkkkk…semenjak ditemukan emas kota gua berubah jadi kota emas.
Tapi
dibalik semua kekurangan itu semangat anak-anak papua untuk bisa maju itu luar
biasa. Mama yang seorang guru SD sering menemui anak papua yang asalnya dari pedalaman
yang orangtuanya ga pernah sekolah sama sekali bisa mengikuti pelajaran dengan
baik meski bukan yang terbaik mereka mampu mengikuti setiap mata pelajaran yang
ada bahkan angka merah ga pernah mereka dapat.
Gua
ga membahas tentang anak-anak papua yang ortunya pejabat itu lain hal
keberuntungan bisa selalu berpihak kepada mereka ditunjang oleh derajat ortu
mereka. Tapi gua melihat potensi anak-anak papua yang benar-benar kekurangan
tapi dalam pendidikan mereka punya nilai lebih. Kebanyakan yang kurang mendapat
perhatian dan kesempatan adalah anak-anak yang tinggal di pedalaman Papua.
Sekolah saja reot dimana-mana, Guru jarang ada, ga ada fasilitas yang memadai
tapi semangat mereka untuk belajar benar-benar luar biasa.
Pernah
dengar kisah tentang “salomina berjuang meraih pendidikan” yang menjadi
inspirasi Anastasya Putri dan Anto Sukma Liputan 6 Siang yang berhasil
mendapat penghargaan Adiwarta Sampoerna 2008, Film Denias yang disadur dari
kisah nyata perjuangan anak Papua untuk mendapatkan pendidikan. Mereka adalah
bagian dari sekian banyak anak papua yang berprestasi.
Foto
beberapa anak yang kupajang di atas adalah anak-anak papua yang berprestasi,
menyumbang medali emas diberbagai bidang olimpiade dunia,
Septinus George Saa (lahir 22 September1986) Mutiara Hitam dari Papua
adalah seorang pemenang lomba First Step to Nobel Prize in Physics pada tahun
2004 dari Indonesia. Makalahnya berjudul Infinite Triangle and Hexagonal
Lattice Networks of Identical Resisto.

Annike Nelce Bowaire (kiri gambar)
adalah pelajar SMUN 1 Serui di Papua, Indonesia yang berhasil meraih medali
emas atas makalahnya yang berjudul Chaos in an Accelerated Rotating Horizontal
Spring di lomba fisika dunia, The First Step to Nobel Prize in Physics (FS)
pada tahun 2005.

Andrey Awoitauw, peraih medali emas olimpiade sains nasional dan
mengalahkan juara internasional dari jakarta Ivan Kristanto

salut sama Bapak Yohanes Surya yang mengangkat
derajat anak-anak Papua lewat pendidikan terutama bidang matematika dan fisika
seperti yang sering gua lihat di berbagai media. Gua harap ini bukan sementara
tapi menjadi permulaan, kesempatan buat semua anak papua untuk bisa mendapat
pendidikan yang layak dan pada akhirnya bisa meningkatkan taraf hidup mereka, kesejahteraan
di tanah Papua bisa tercapai, wawasan mereka semakin maju untuk siap menerima
segala pembaharuan, modernisasi tanpa melupakan adat yang sudah mengakar.
Sekali lagi gua bangga menjadi bagian dari mereka,
dengan makalah hasil karya gua mengenai perkembangan IT di Kab. Nabire Papua,
gua berhasil mendapat beasiswa penuh dari Univ Binus selama 3,5 tahun kul IT
plus biaya hidup selama kul di sana. Teman sekelas gua yang asli Papua bisa
jadi Asisten Dosen selama kul di UGM dan sedang mengurus tesis S2 nya, beberapa
teman yang Papua 1 berhasil menamatkan kul kedokteran di beberapa Univ Negeri
dengan beasiswa penuh, dan masih banyak lagi.
Dengan segala keterbatasan muncul ketekunan, muncul
harapan, ada usaha, ada keinginan untuk merubah masa depan. Mereka juga bagian
dari bangsa ini, mereka adalah mutiara hitam yang masih belum terasah, kilaunya
masih pudar. Hidup mereka sangat sederhana, kebanyakan masih tinggal di Honai
(rumah adat di Papua), asupan gizi mereka buruk, makanan pokok mereka ubi dan
sagu. Terlepas dari segala permasalahan yang ada gua yakin kedepan bibit unggul
akan bermunculan, penyumbang medali emas diberbagai bidang olimpiade akan
bertambah, menjadikan mutiara hitam ini berkilau terang menerangi seluruh Papua.
Tulisan ini saya tuliskan untuk
semua teman-teman dari Papua,
Saya bangga menjadi anak Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar