Tiga lukisan karya Ignasius Dicky Takndare dipamerkan di Bentara Budaya Yogyakarta, 15 – 23 Oktober 2016. Lukisan ini dipamerkan bersama karya Albertho Wanma dengan mengangkat tema “Remahili” atau ratapan. (Serunai/Idha Saraswati)
YOGYAKARTA - Tak hanya lewat unjuk
rasa Orang Papua mengungkapkan derita dan kegelisahannya atas pelanggaran Hak
Asasi Manusia (HAM) di tanah kelahirannya. Mereka juga menyuarakannya lewat
lukisan dan karya seni lainnya.
Dalam tulisannya yang dimuat di serunai.com, ia menggambarkan pameran itu sebagai sebuah even yang "mencabik-cabik perasaan," menampilkan "ratapan duka akibat kehilangan keluarga namun juga karena kehilangan tanah, air, kekayaan alam, kebebasan, kebudayaan juga kemerdekaan."
Noken atau tas rajutlah yang mestinya dipasang di kepalanya. Namun, dalam lukisan itu noken telah berganti tas plastik," Idha menggambarkan lukisan itu.
Dua perupa Papua ini diharap membuka pintu bagi apresiator karya seni, khususnya di Yogyakarta, untuk mengenali lebih banyak lagi tentang seni Papua.
Isu-isu yang dianggap sensitif tentang Papua, dimunculkan bukan
dengan cara frontal. Kematian aktivis, musisi, pelanggaran HAM hingga
penderitaan warga di tengah kekayaan sumber daya alam, diungkapkan lewat gorean
kuas pada lukisan, ukiran pada patung dan karya seni pertunjukan.
Pencinta seni dan budaya, Idha Saraswati, melaporkan ulasannya
tentang pameran karya seni dua perupa dari Papua, Albertho Wanma (30) dan
Ignasius Dicky Takndare (28) yang diadakan di Yogyakarta pada 15-23 Oktober
lalu.
Dalam tulisannya yang dimuat di serunai.com, ia menggambarkan pameran itu sebagai sebuah even yang "mencabik-cabik perasaan," menampilkan "ratapan duka akibat kehilangan keluarga namun juga karena kehilangan tanah, air, kekayaan alam, kebebasan, kebudayaan juga kemerdekaan."
Albertho dan Ignasius memamerkan berbagai karya seni mereka selama
sepekan itu, mulai dari lukisan, patung, instalasi serta performance art.
Semuanya berkisah tentang kampung halaman mereka. Dan menurut Idha, semuanya
bernada ratapan.
Wajah-wajah Menyimpan Banyak
Cerita
Tiga lukisan karya Dicky dipajang berjajar. Salah satunya lukisan
berjudul Ana ye Ana, menampilkan raut wajah seorang mama Papua dengan
garis-garis muka, yang menurut Idha, seperti menyimpan begitu banyak cerita.
Tampak dalam lukisan itu air mata menetes dari salah satu sudut
matanya secara tersamar. "Tetapi tatapan mata itu kosong. Kedua tangannya
diangkat hingga ke depan dada, seperti sedang berdoa, sekaligus seperti sedang
mempertanyakan sesuatu. Terlebih ketika melihat jemari di salah satu tangan itu
yang tak lagi utuh, bekas dipotong, wujud cinta seorang mama terhadap
keluarganya yang meninggal.
Noken atau tas rajutlah yang mestinya dipasang di kepalanya. Namun, dalam lukisan itu noken telah berganti tas plastik," Idha menggambarkan lukisan itu.
Lukisan lainnya, Besohathe, adalah tentang sebuah raut
wajah seorang lelaki belia. Idha menggambarkan lukisan itu dengan kata-kata,
"Matanya yang menatap tajam mengungkapkan banyak hal. Namun, mulutnya
terkatup rapat oleh jahitan benang. Di dahinya ada jeruji penjara."
Lukisan berikutnya, raut muka seorang pemuda berbibir tebal. Tak
ada penjara atau jahitan benang di wajahnya. "Namun, sudut keningnya telah
ditandai sebagai sasaran tembak senjata otomatis. Judul karya itu Silent Target
#2."
"Ketiga lukisan itu sunyi. Sosok-sosok yang menyimpan dukanya
sendiri. Namun, duka itu ternyata menular dengan cara menyelinap diam-diam.
Dalam sunyi, ketiga karya itu justru mampu menyampaikan banyak cerita yang tak
terungkapkan," komentar Idha.
Sedangkan karya Bertho, yang dipajang di tengah ruang pamer,
berjudul Fafisu Mambesak. Mambesak adalah sebuah kelompok musik di tahun
1970-an yang didirikan oleh aktivis pro-kemerdekaan Papua, Arnold AP, yang
kemudian tewas ditembak aparat.
Karya ini adalah sebuah patung berbentuk gitar dengan ukuran yang
lebih besar dibanding gitar pada umumnya. Tetapi ia tidak dilengkapi senar. Dan
tubuh patung fiber setinggi 1,2 meter itu berisi rongga mulut yang terbuka,
seperti sedang berteriak keras. "Gagang gitarnya diganti dengan lengan
berotot yang mengepal penuh keyakinan," tulis Idha.
Karya Bertho seakan mengangkat kembali ingatan pada lagu-lagu
kelompok Mambesak yang dulu dianggap kritis, mengangkat soal politik maupun
kerusakan lingkungan akibat tambang. Sampai saat ini Mambesak masih menjadi
inspirasi bagi aktivis Papua. Arnold Ap selalu dikenang sebagai pahlawan bagi
dimarginalkannya rakyat Papua di tanahnya sendiri.
Bertho dan Dicky juga membuat karya instalasi yang pada pembukaan
pameran dihidupkan melalui karya performance art. Mereka menyusun
batangan-batangan emas hingga membentuk ranjang setinggi sekitar setengah meter.
"Di atas ranjang itu, ada sesosok mayat yang ditutupi kain
putih. Di tembok seberang ranjang, ada layar putih yang disorot lampu. Pada
layar itu, saat melakukan performanceDicky menuliskan berbagai kata yang
tersimpan di benaknya tentang Papua : Wasior, Abepura, Pepera (Penentuan
Pendapat Rakyat), Mambesak."
Sebagaimana ditulis oleh Idha, karya performance ini diberi
judul Remahili, yang juga menjadi judul dari pameran. Artinya dalam bahasa
Sentani adalah ratapan. "Ini merujuk pada tradisi meratap ketika ada
keluarga yang meninggal. Mereka meratap untuk mengungkapkan duka mendalam yang
tak tertahankan," kata Idha.
Tanyakanlah pada Orang Papua
Menurut Idha, karya seni ini menggambarkan kompleksnya penyebab
duka orang Papua. Berbagai jenis ratapan itu, agaknya merupakan inti inti
kegelisahan kedua perupa. Dan mereka ingin mengajak orang yang menyaksikannya
menghayati pesan, bahwa "jika informasi yang Anda terima tentang Papua
terasa meragukan, carilah sumber yang bisa dipercaya : salah satunya adalah
orang-orang Papua itu sendiri."
Idha mengutip pernyataan Romo Sindhunata sesaat sebelum pembukaan
pameran, yang mengatakan di tengah banyaknya karya seni yang berbicara soal
Papua, ketika karya itu dibuat oleh perupa Papua, rasa dan kedalamannya menjadi
berbeda.
Pameran yang dikuratori Andre Tanama dibuka oleh Anti Tank, yang
kerap mengangkat isu politik dan sosial dalam karya mereka.
Dua perupa Papua ini diharap membuka pintu bagi apresiator karya seni, khususnya di Yogyakarta, untuk mengenali lebih banyak lagi tentang seni Papua.
"Pula, mereka membuka pintu bagi perupa Papua lainnya untuk
berkisah. Kisah-kisah yang masih tersembunyi dari khalayak umum, terutama di
luar Papua," tulis Idha, dalam laporannya yang diberi judul Yang Terungkap Lewat
Ratapan.
[Yugum Tero]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar