Peta Papua tempo dulu (Sumber foto: wilemwandik.com).
|
Mengenal diri sendiri (kekuatan,
kelemahan, ancaman dan peluang) adalah yang utama. Mengenal musuh (kekuatan
musuh, ancaman musuh, peluang musuh dan kelemahan-kelemahannya) adalah pilar
kedua. Itulah aturan menuju kemenangan. Maka pada materi ini, marilah mengenal
diri sendiri. Tulisan
ini berupa rangkuman dari beberapa sumber, guna mendekatkan Papua untuk
dipahami.
KONDISI ALAM
Tanah Papua saat ini hanyalah setengah dari
sebuah pulau terbesar kedua di dunia setelah Greenland, dan terbesar pertama
untuk kategori pulau berpenduduk. Namanya Nieuw Guinea.
[1], sebuah pulau seluas kurang lebih 892.000 km persegi. Pulau Nieuw
Guinea tersebut dibagi menjadi dua bagian melalui perjanjian Den Haag pada 16
Mei 1895. Bagian Barat menjadi milik Belanda dan dinamakan Nederlands Nieuw
Guinea (kini Papua) dengan luas wilayah 416.000 km persegi, kira-kira 3,5 kali
luas pulau Jawa. Nieuw Guinea bagian timur menjadi milik Jerman dan Inggris
(kini Papua New Guinea/PNG) dengan luas wilayah 476.000 km persegi. Batas
wilayah Nieuw Guinea bagian Timur dan Barat itu dimulai dari Sungai Bensbach di
pantai selatan Nieuw Guinea yang terletak pada garis 141 derajat 1’47” BT dan
melalui garis tersebut ditarik lurus ke utara sampai di kelokan Sungai Fly, dan
terus sampai pada garis 141 derajat BT yang terletak di pantai utara Nieuw
Guinea. Garis ini yang hingga kini dipertahankan sebagai tapal batas antara
Tanah Papua sebagai wilayah negara Indonesia dengan wilayah teritorial negara
PNG.
[2].Pulau Nieuw Guinea itu (yang di dalamnya ada Tanah Papua) adalah bagian
dari Benua Sahul pada massa sebelum pencairan es, kurang lebih 12.000 tahun
yang lalu. Benua Sahul pada zaman itu terdiri dari benua Australia, pulau
Papua, pulau Tasmania dan pulau-pulau kecil di sekitarnya saat ini. Masa
pencairan es tersebut diperkirakan berhenti antara 12.000-8.000 tahun yang
lampau sejak pencairannya kurang lebih 80.000 tahun yang lalu. Setelah masa
pencairan es itu, bentuk Pulau Papua secara keseluruhan tergambar mirip burung
Kasuari, seperti saat ini. Ia bertengger di atas samudera pasifik. Kakinya
mencengkram Australia, kepala tidak tegak dan tidak menunduk, tepat menghadap
ke kepan, ke arah barat. Badan serta ekornya terbentuk ke belakang, menghadap
ke arah timur-selatan.
Tanah Papua terdiri atas barisan pegunungan yang
membentang dari wilayah di bagian barat yang mirip kepala burung hingga ke
barisan pegunungan yang lebih tinggi dan bersalju di bagian tengah. Pegunungan
ini berlanjut hingga ke PNG, melewati kawasan pegunungan Owen Stanley hingga
menuju timur-selatan yang mirip ekor Pulau Papua. Kawasan pegunungan ini
diselingi lembah-lembah dan beberapa danau. Bagian selatan tanah Papua pada
umumnya adalah bentangan rawa, hutan bakau dan savana. Di dalamnya ada
hutan-hutan sagu, hutan basah dan terdiri dari aliran-aliran sungai yang
mengalir dari daerah pegunungan menuju laut selatan.
Sementara daerah pegunungan tengah ke arah
pantai utara terdiri dari daerah pegunungan Jayawijaya, daerah danau-danau
tengah, daerah pegunungan utara dan derah dataran renda di bagian utara.
Pegunungan Jayawijaya dengan beberapa gunungnya yang mencapai ketinggian 4.000
mdpl terus membujur ke timur, bahkan beberapa gunung mencapai ketinggian 5.000
mdpl dan diselimuti salju. Fakta akan selimut salju di puncak-puncak dunia ini
adalah keajaiban sangat mengagumkan yang sesungghnya bagi bangsa-bangsa,
menyadari bahwa tanah Papua letaknya tepat di garis katulistiwa. Lalu dari
deretan pegunungan inilah, asal muasal ribuan sungai yang mengalir dan bermuara
di pantai utara Papua itu. Sementara di bagian selatan, telah dijelaskan
sebelumnya, menyisahkan permukaan tanah yang lebih lapang, dengan komposisi
hutan basah, hutan bakau, savana dan sungai-sungai yang juga berasal dari
pegunungan tengah Papua.
Sementara daerah Teluk Cendrawasih yang
membentuk mirip leher burung itu, bertaburan puluhan pulau, dengan beberapa
pulau besarnya adalah Biak, Yapen, Mambor, Mor, dan Ahee.
Wilayah kepala burung pada umumnya terdiri dari
tebaran gunung-gunung, berbentuk pegunungan yang lebih rendah dari pegunungan
Jayawijaya, membentang dari arah Manokwari dari arah Wasior, hingga membentang
ke barat hingga dekat-dekat Sorong, lebih dekat dengan pantai utara. Sementara
di bagian selatan kepala burung adalah bentangan rawa dan dataran rendah.
Pegunungan Arfak dan Tambraw memiliki beberapa gunung tertingginya, dengan
ketinggian lebih dari 3.000 mdpl. Di beberapa tempat seperti di pantai utara
dan sisi pantai timur, gunung-gunung bahkan menerobos pantai hingga tepian
pantai menjadi dinding-dinding karang yang curam.
Daerah dataran rendah di tanah Papua berhawa
panas dan lembab, tanpa perubahan suhu mencolok antar musimnya dan bercurah
hujan tinggi. Suhu udara berkisar 29-32 derajat C, sementara bila naik ke
ketinggian 1.000-2.000 mdpl, suhunya menjadi 20-27 derajat
C. Rata-ratanya, suhu turun 1 derajat C setiap ketinggian
100 mdp. Tanah Papua memiliki curah hujan rata-rata tertinggi, yakni
antara 2.000-3.000 mm tiap tahun, sementara di daerah selatan pegunungan
tengah, bisa mencapai lebih dari 6.000 mm per tahun. Sebagaimana daerah-daerah
di pulau lain di dekat lintasan garis katulistiwa, tanah Papua juga kaya akan
kandungan mineral, beriklim tropis-basah. Sesuai penelitian, tanah di Papua
diklasifikasikan ke dalam sepuluh jenis tanah utama, yaitu (1) tanah organosol,
tertapat di pantai utara dan selatan, (2) tanah alluvia, terdapat di pantai
utara dan selatan, dataran pantai, dataran danau depresi ataupun jalur sungai,
(3) tanah litosol, terdapat di pegunungan Jayawijaya, (4) tanah hidromorf
kelabu, terdapat di dataran Merauke, (5) tanah Resina, terdapat di hampir
seluruh dataran Papua, (6) tanah medeteren merah kuning, (7) tanah latosol,
terdapat di seluruh dataran Papua, terutama zona utara, (8) tanah podsolik
merah kuning, (9) tanah podsolik merah kelabu, dan (10) tanah dodsol, yang
terdapat di daerah pegunungan.
CORAK PRODUKSI
Dimulai dari sejarah perkembangannya, ada empat
hal yang akan dijelaskan secara singkat pada bagian ini. Pertama adalah
hubungan antar lingungan ekologi dan pola penghidupan. Kedua, soal kepemilikan
objek kerja dan perkembangan alat kerja. Ketiga, sistem
ekonomi-politik, dan terakhir, stratifikasi sosial dalam sistem politik
tradisional. Empat hal inilah yang akan menghantar pada kesimpulan secara umum
corak produksi rakyat Papua.
Menurut analisis para ahli sejarah berdasarkan
penelitian atas temuan-temuan arkeologi dan fosil, tanda-tanda kehidupan
manusia di benua Sahul tadi ada sejak 50.000-25.000 tahun yang lalu. Mereka
yang menghuninya diprediksi merupakan manusia dengan ras Oseanik Negritos dan
ras Carpetarians. Kedua ras ini datang secara berurutan dari benua Afrika. Lalu
disusul Ras Murrayan, nenek moyang orang Aborigin. Maka Ras Oseanik Negritos
dan ras Carpetarians adalah penduduk asli pulau Papua, penduduk asli Tasmania, dan
penduduk benua Australia.
Setelah kedua ras di atas, gelombang penduduk
yang datang dan menetap di pulau Papua adalah orang-orang Melanesia Purba atau
Proto-Polinesia, yang mulai memasuki daratan Papua 4.000 tahun yang lalu atau
2.000 tahun sebelum masehi. Orang-orang Proto Polinesia atau orang-orang
Melanesia purba tadi datang membawa kebudayaan neolitik dan megalitik. Para
ahli sejarah telah menyimpulkan, bahwasanya sebelum, sementara es mencair, dan
sesudah es mencair dan menjadikan Dataran Sahul tadi terpecah menjadi beberapa
pulau, tanah Papua telah dihuni. Hal ini dibuktikan oleh benda-benda arkeologi
mesolitik, neolitik dan megalitik. Dalam hal ini, arkeologi mesolitik berupa
alat-alat batu flakes dan lukisan-lukisan di dinding gua yang terdapat
di Pulau Arguni, Kokas, Teluk Berau, Teluk Triton, Teluk Bisyari, Teluk
Saireri, pulau-pulau Muamuran, Pulau Roon, Dua Guamaimit dan Gua Pinfelu yang
terdapat di sekitar Danau Sentani, dan beberapa arkeologi lainnya.
[3].Juga penemuan arkeologi di Kosipe dan penemuan arang berumur lebih dari
5.000 tahun dalam sebuah gua di Puncak Jaya.
Penduduk Papua yang terdiri dari kelompok-kelompok
suku itu pada perkembangannya hidup komunal dalam isolasi kondisi geografis.
Hal ini memungkinkan kurangnya interaksi antar masing-masing kelompok atau
komunitas masyarakat yang tersebar mendiami tanah Papua. Hal ini sebenarnya
memudahkan penelitian pada saman ini mengenai kehidupan masa lampau. Menurut J.
R. Mansoben, pada lingkungan alam seperti apa kelompok-kelompok suku di Papua
menetap dan bermata pencaharian merupakan hal yang penting untuk dilihat.
Ciri-ciri lingkungan ekologi dimana masyarakat Papua hidup sangat mempengaruhi
sistem mata pencaharian dan pola-pola beradaptasi, sedangkan pola-pola adaptasi
turu menentukan perkembangan struktur sosial masyarakat. Hal ini mendukung
pendapat bahwa di Papua, faktor lingkungan alam tempatan sangat kuat membentuk
sistem-sistem teknologi dan organisasi sosial dari masyarakat yang digunakan
untuk bertahan hidup dan beradaptasi di tengah lingkungan alam itu sendiri.
[4].Secara umum, ekologi tempatan rakyat Papua dalam etnik suku-suku
bangsa, berbeda-beda. Hal inilah yang menyebabkan adanya pola hidup yang
berbeda-beda untuk setiap etnik suku-bangsa.
Lingkungan ekologi di atas secara umum dibagi
menjadi empat, yakni ekologi rawa, ekologi dataran pantai, ekologi kaki gunung
dan lembah-lembah kecil dan ekologi pegunungan tinggi. Hidup di
ekologi rawa menyebabkan orang Asmat dan Kamoro lebih mengutamakan meramu sagu
sebagai mata pencaharian pokok dan menangkap ikan di sungai sebagai pelengkap.
Hidup di ekologi dataran tinggi membuat pertanian bagi orang Dani dan orang Mee
merupakan cara utama untuk mempertahankan hidup, disamping beternak babi. Hidup
di ekologi kaki gunung dan lembah-lembah kecil membuat berladang dan meramu
sagu sebagai yang utama bagi orang Muyu, orang Arso, orang Genyem, disamping
berburu dan beternak. Semetnara di ekologi dataran pantai, di
pulau-pulau, mereka yang hidup di bibir pantai dan muara-muara sungai,
menjadikan kombinasi menangkap ikan, meramu sagu dan berladang sebagai yang
pokok, sementara berburu di hutan menjadi hal yang kedua.
Secara umum untuk suku bangsa yang menempati
ekologi rawa, pinggiran sungai dan dataran pantai, sagu telah menjadi makanan
pokok. Sedangkan umbi-umbian seperti ubi dan keladi merupakan makanan pokok di
pegunungan tinggi di bagian tengah Papua dimana tanah tempatan mereka lebih
subur.
Di pegunungan dan dataran tinggi Papua, rakyat
hidup dalam kawasan perkampungan, memadat, dan semua intensif kepada pertanian.
Bagian pegunungan tengah sudah mengenal padat karya, pemisahan kebun-kebun
untuk tanaman tertentu, bahkan penduduk lembah Baliem telah mempu mengeringkan
daerah rawa di lembah untuk bertani. Mereka juga mengembangkan sistem
terasering untuk menghindari erosi akibat air hujan dan teknik-teknik
memelihara dan meningkatkan kesuburan tanah. Bahkan ada penelitian yang
menjelaskan, suku-suku bangsa di pegunungan Papua telah berevolusi menjadi
petani sejak mereka mulai berkebun pada kurang lebih 5.000 tahun yang
lalu, dengan hipotesa berdasarkan arkeologi, bahwa
masyarakat pegunungan tengah, khusus orang Dani, sudah ada dan menghuni lembah
Baliem sejak lebih dari 9.000 tahun SM, dan mulai bercocok tanam dari kira-kira
7.000 tahun SM.
[5]. Sekarang soal kepemilikan objek kerja dan perkembangan alat kerja.
Secara umum menurut hukum-hukum adat suku-suku
bangsa di tanah Papua, tanah, air dan udara dan apa yang terkandung di
dalamnya, tidak dimiliki secara individu, melainkan dimiliki secara kolektif,
bersama-sama. Tanah sebagai objek kerja primer dan sumber-sumber agrarian
lainnya, seperti hutan, dusun sagu,dan tempat-tempat mencari sumber-sumber
hidup lainnya itu dimiliki oleh suku atau klen, lalu didistribusikan kedalam
marga-marga, lalu didistribusikan lagi kepada kepala-kepala keluarga. Jadi
status hak atas tanah garapan, dusun sagu, dan sumber-sumber hidup lainnya di
tingkat marga atau kepala keluarga dalam suku-suku bangsa di Papua adalah hak
pakai, bukan hak milik. Hak milik ada pada suku bangsa itu sendiri, bersama-sama.
Tidak ada dominasi secara pribadi atas objek
kerja yang berakibat anggota lain dalam suku bangsa tidak mendapatkannya.
Setiap orang dewasa pasti berpeluang mendapat sebidang tanah atau bahkan lebih
dari satu bidang tanah garapan tempat bertani atau berkebun, mendapat
kesempatan yang sama untuk meramu sagu di hutan sagu dan lahan berburu sesuai
hak komunal suku bangsa tempat mereka berasal. Mereka melakukan kerja-kerja,
misalnya untuk kerja pertanian, perkebunan, berburu, menangkap ikan, dan
lain-lain, untuk memenuhi hidup dengan alat-alat tradisional yang
sederhana. Selain karena tujuan produksi leluhur bangsa Papua dulu
dalam lingkup suku bangsa yang bukan untuk mengakumulasi modal –seperti dalam
corak produksi kapitalisme- dan melakukan proses jual-beli, dan seterusnya
dengan menetapkan harga tertentu pada hasil produksinya. Faktor topografi,
teknologi dan alat kerja yang sedernana itu hanya mampu menghasilkan produksi
yang cukup hanya untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
J. R. Mansoben (1995) menjelaskan, benda-benda
neolitik seperti kapak persegi yang pipih dengan teknik boring.
[6] merupakan unsur budaya luar, kecuali benda neolitik seperti kapak
lonjong yang adalah alat kerja buatan nenek moyang orang Papua sendiri.
Benda-benda zaman megalitik berupa kapak dan mata tombak yang terbuat dari
perunggu yang beredar di tanah Papua juga merupakan hasil budaya luar. Selain
dari itu, nenek moyang bangsa Papua menggunakan kayu, batu, dan segala
peralatan yang dapat diperoleh di alam dan tanah air tempatannya untuk memenuhi
kebutuhan hidup.
Kebudayaan luar itu masuk melalui suku-suku bangsa
Papua di daerah pesisir pantai dan kepulauan yang umumnya melakukan pelayaran
dan berdagang. Lalu masuk hingga ke pedalaman melalui kontak barter dengan
suku-suku bangsa yang mendiami dataran tinggi dalam berbagai pertemuan barter.
Selanjutnya soal sistem ekonomi dan politik yang
diterapkan suku-suku bangsa di tanah Papua secara umum. Ada empat model yang
digunakan. Pertama, model big man, digunakan oleh penghuni zona pegunungan
tendah dan tinggi mulai dari barat, tengah sampai ke timur, juga ke pantai selatan.
Kedua, kepemimpinan raja, digunakan oleh penduduk di kepulauan Raja Ampat,
Semenanjung Onim, sampai Kaimana dan Kapia di Mimika Barat. Ketiga, model
Ondoafi, digunakan di sekitar Jayapura, dari teluk Humboldt sampai Tanah Merah,
Demta, Arso-Waris sampai Genyem. Lalu terakhir, model campuran, digunakan di
pesisir Teluk Cendrawasih, dari sebelah barat Mamberamo samai daerah
Karon, pulau Biak dan Yapen
[7]. Model kepemimpinan big man
atau pria berwibawa merupakan sistem politik dan ekonomi yang dipraktekkan di
daerah suku Mee, Dani, Maybrat, Muyu, Asmat, Marind, dan menjadi model yang
dominan dari tiga model lainnya. Namun model ini dibagi menjadi dua menurut
varian ciri utamanya. Varian pertama dari model ini adalah sistem big man yang
mengutamakan kemampuan berperang dan kemampuan berpolitik sebagai variabel
utama untuk memeroleh kepemimpinan. Varian kedua adalah sistem big man yang
mengutamakan ketrampilan berpolitik dan ekonomi sebagai syarat menjadi
pemimpin. Suku Mee, Muyu dan Maybrat merupaan contoh varian kedua,
dimana ketrampilan politik berupa orasi dan negosiasi dan pengaruh kekayaan
menjadi syarat utama. Sementara suku Dani dan Asmat merupakan contoh varian
pertama yang mengutamakan unsur keberanian sebagai syarat utama menjadi
pemimpin.
Kepemimpinan pria berwibawa dijalankan secara
otonom. Berhasilnya seorang diakui sebagai pemimpin diperoleh lewat kekampuan
pribadi orang tersebut mewujudnyatakan keberhasilannya secara ekonomi (menjadi
orang kaya), memiliki ketrampilan berdiplomasi, ketrampilan memutuskan dan
menyelesaikan masalah, ketrampilan pidato, keberanian perang dan kejelian
mengatur strategi perang, memiliki bentuk fisik tubuh yang mendukung, dan
bermurah hati dan baik dalam hubungannya dengan anggota suku.
[8].Dalam model ini, seorang big man punya andil dan peran besar dalam
segala hal menyangkut komunitasnya. Namun menjadi seorang big man tidak mudah.
Ia harus memenuhi syarat-syarat di atas. Dalam
sistem politik-ekonomi big man, ada sistem ekonomi tersendiri yang
berkaitan erat dengan sistem politik, kesemuanya dalam kendali big man. Dalam
model big man, pesta-pesta adat dan mendan perang, persoalan-persoalan rumit
dan musyawarah bersama, telah menjadi sarana untuk melahirkan seorang big man,
tentu saja berdasarkan kemampuan diplomasi, bicara, negosiasi, berperang,
keberanian dan kepahlawanannya.
[9]. Tidak hanya sebagai sarana untuk melahirkan seorang big man. Perang,
persta-pesta adat dan upacara-upacaranya itu telah diciptakan sebagai alat
untuk kontrol dan disiplin sosial, saana pengawasan, mempererat hubungan,
tempat regenerasi, alat untuk menjaga wilayah kekuasaan, transfer nilai dan
norma, sarana membangun ekonomi dan menjaga kestabilan suku. Seorang
big man, sangat berperan penting dalam semuanya itu, yang artinya big man
menjadi penentu hidup dan keadaan suku.
Model kedua adalah kerajaan, dimana pemimpinnya
adalah seorang raja. Dalam sejarah kerajaan dalam suku-suku bangsa di Papua,
kekuasaan sebagai raja tidak tidak melalui pencapaian seperti dalam sistem big
man, tetapi merupakan perolehan. Jabatan diberikan orang tua kepada anak sulung
dengan beberapa syarat. Bila tidak memenuhi syarat, jabatan diberikan kepada
anak kedua, dan seterusnya hingga adik raja atau anak-anak dari adiknya raja.
Sistem kepemimpinan ini lahir akibat akulturasi budaya dan interaksi
perdagangan antara penduduk Papua di kepulauan Raja Ampat dan Semenanjung Onim.
Ciri umumnya adalah ada semacam birokrasi tradisional yang berperan menjalankan
sistem kekuasaan ini, melayani seorang raja. Sistem ini hanya berkembang dalam
kalangan masyarakat Papua di daerah kepala burung, Sorong dan kepulauan Raja
Ampat.
Model ketiga adalah sistem pemerintahan
ekonomi-politik ondoafi
[10]. Seorang pemimpin kampung (yo) yang membawahi satu
kampung (klan besar)lah yang disebut seroang ondoafi. Seorang
ondoafi haruslah seorang ynag dari keturunan secara lurus dari pendiri kampung
atau orang yang membawa masyarakatnya dari dunia gaib untuk menetap di bumi,
dan merupakan anak sulung dari ondoafi terdahulu. Yo merupakan kesatuan sosial
terbesar yang nyata dan fungsional. Di dalamnya ada klan kecil yang
disebut imea, yang dipimpin oleh seroang khoselo. Fungsi ondoafi dan
khoselo pada umumnya sama. Yang membedakan adalah wilayah cakupannya. Mereka
sama-sama menguru soal perkawinan, pengaturan pemanfaatan sumber daya alam,
pemimpin upacara atau ritus, dan bertindak sebagai hakim.
[11]. Ondoafi memimpin yo, sementara khoselo memimpin imea.
Ondoafi dibantu oleh sejumlah orang yang memegang jabatan tertentu. Tapi model
ondoafi jelas tidak sama dengan model raja tadi. Wilayah kekuasaan ondoafi
hanya untuk satu klan, sementara raja tidak. Kepemilikan tanah secara individu
tidak terjadi, walau hak pakainya diberikan. Tanah dan segala isinya tetap
menjadi milik bersama, diatur oleh seorang ondoafi. Seorang ondoafi juga tidak
punya kekuasaan otoriter, mutlak, dan tidak menerima upeti seperti dalam sistem
raja di Jawa.
Model yang terakhir adalah model campuran
[12]. Ia merupakan gabungan dari model big man, raja, dan ondoafi.
Masyarakat Biak adalah contohnya. Pada model ini, terdapat individu-individu
yang tampil sebagai pemimpin atas dasar keturunan (perolehan). Selain itu
kekuasaan juga dapat dipegang melalui sebuah pencapaian, yakni dengan
keberanian dan keberhasilan memimpin dalam perang. Pemimpin yang mencapai titik
puncak kekuasaan melalui kepahlawanan dan sikap bernainya di medan perang
disebut mambri, sementara manibob adalah pemimpin yang
melalui jalur kemampuan berdagang dan menunjukkan kepandaian negosiasi. Selain
itu, ada cara ketiga menjadi pemimpin, yakni dengan bantuan mitologi,
disebut konor.
Stratifikasi sosial yang paling mencolok
terlihat pada struktur masyarakat model raja dan campuran. Dalam struktur
sosial saat ini memang tidak terlihat jelas. Tapi pada masanya, sebelum kontak
dengan kebudayaan luar, sistem itu terlihat jelas. Secara umum struktur
masyarakat dalam dua model ini terbagi dalam tiga golongan. Golongan pertama
tentu saja golongan raja dan para bangsawan. Golongan kedua adalah masyarakat
biasa. Lalu golongan ketiga adalah para budak. Budak telah masuk dalam
perdagangan (seperti dalam hubungan raja-raja di Semenanjung Onim dan Raja
Ampat dengan kerajaan-kerajaan di wilayah Maluku), sebagai komoditi, bahkan
digunakan sebagai harta mas kawin (daerah Biak)
[13].Sementara dalam model sistem ekonomi-politik big man dan ondoafi,
sistem budak tidak dikenal. Jadi secara umum ada dua strata sosial yang
terlihat. Pertama adalah big man dan golongan orang-orang terpandang (baik
karena harta kekayaan, keberanian perang, pandai berdiplomasi dan pidato dan
pandai menyelesaikan masalah). Sementara masyarakat biasa menempati golongan
kedua.
Dari uraian di atas, ada beberapa hal yang
penting menjadi perhatian. Pertama soal kepemilikan atas alat-alat dan sumber-sumber
produksi. Tanah, air, udara, hutan dan dusun sagu tidak pernah menjadi milik
seorang big man, ondoafi, atau seorang pemimpin. Alat-alat produksi tetap
dimiliki secara kolektif. Pemimpin tidak melakukan penguasaan atas tanah dengan
memperlakukan upeti kepada penduduk, kecuali di wilayah Raja Ampat, dimana raja
mulai mengklaim seluruh wilayah pesisir yang dibawah kekuasaannya sebagai milik
raja.
Pembagian kerja masih dapat dikatakan amat
sederhana, seperti dalam sistem keluarga. Dimana seorang big man, ondoafi,
raja, bertindak sebagai kepala keluarga yang mengatur sistem ekonomi-politik,
dan di bawah arahannya, suku-suku bangsa hidup. Masyarakat Papua masih
mendapatkan makanan dari menangkap ikan di sungai, beternak dengan cara-cara
sederhana dan dalam skala kecil, hingga telah bercocok tanam untuk hidupnya.
Sistem perdangangan masih barter dan dalam beberapa suku sudah mengenal sistem
uang. Baik di Raja Ampat, Semenanjung Onim dan daerah-daerah sekitar Teluk
Cendrawasih, khusus Biak, strata sosial mulai menjadi tiga golongan dengan
sistem budak. Sementara dalam kepemimpinan big man di pegunungan tengah dengan
adat perang dan sistem uang yang telah dikenal, dapat dikatakan, pada waktunya
ke depan, sistem budak akan juga dikenal. Perkembangan yang mengarah
ke sana terlihat dari struktur keluarga di dalamnya yang telah mulai majemuk,
mulai dari kepala keluarga, istri dan anak-anak, dan budak.
Untuk sementara dapatlah disimpulkan, bahwa
masyarakat Papua pada masa pra kapitalisme itu memperlihatkan corak produksi
masyarakat komunal atau corak produksi masyarakat tribal, dan sedang dalam
proses dialektika menuju corak produksi masyarakat perbudakan. Sebagai
perbandingan, bangsa-bangsa lain di dunia umumnya melewati tahapan perkembangan
kebudayaan dari sistem tribal ke sistem perbudakan, lalu telah
berdialektika lagi menuju saman feodal dan masuk pada sistem kapitalisme
bersamaan dengan masuknya pengaruh dan budaya luar secara intensif, mulai dari
Tanah Papua yang secara resmi masuk dalam wilayah kekuasaan Belanda, lalu
menjadi daerah tak bertuan alias dibawah kendali United Nation (PBB) lalu
penyelenggaraan administrasinya diserahkan kepada Indonesia untuk
menyelenggaran Penentuan Pendapat Rakyat Papua. Penyerahan kewenangan untuk
menjalankan administrasi ini yang pada gilirannya digunakan Indonesia sebagai
sarana untuk menghancurkan gerakan pro Papua merdeka dan pro Belanda.
[14], untuk menguasainya demi kepentingan ekonomi-politiknya.
(Bersambung)
[1] Nieuw Guinea adalah terjemahan dari kata Nueva Guinea (Guinea
Baru), nama yang digunakan Ynigo Ortiz de Retes pada 1545 untuk menyebut pulau
yang terletak antara batas 0-12 LS. Ortiz teringat akan Guinea Tua di Afrika
karena penduduk Pulau Nieuw Guinea memunyai kesamaan ciri-ciri fisik dengan
penduduk Guinea di Afrika Barat, dari segi warna kulitnya yang hitam dan
rambutnya yang keriting. Baca Rosmaida Sinaga (2013), Masa Kuasa Belanda
di Papua. Hal. 1.
[2] Baca Johszua Roberrt Mansoben (1995). Sistem Politik
Tradisional di Irian Jaya. Hal. 26.
[3] Mansoben. Hal. 55-67.
[4] Mansoben. Hal. 35.
[5] Mansoben. Hal. 138.
[6] Teknik boring (memberi lubang di pangkalnya), sering disebut
“teknik penggurdian”. Kapak dengan teknik tersebut, diduga, awalnya
berasal dari kebudayaan Yang Shao di Tiongkok.
[7] Mansoben (1995). Hal. 48.
[8] Mansoben. Hal. 84.
[9] Mansoben. Hal. 86-175.
[10] Rosmaida Sinaga (2013). Hal. 26-32.
[11] Mansoben. Hal. 202-205.
[13] Rosmaida Sinaga. Hlm. 32.
[14] Rosmaida Sinaga. Hal. 99.
[15] Agus A. Alua (Cetakan II). 2006. Hlm. 53-67.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar