![]() |
Ilustrasi foto |
"Refleksi 55 Tahun
Manifesto Politik Papua"
JAYAPURA - Dari hati
dan jiwa raga yang tulus dan ikhlas, saya mengucapkan selamat hari Manifesto
Politik Papua, 1 Desember 1961, kepada seluruh mahkluk hidup ciptaan Tuhan Yang
Maha Esa di tanah Papua. Terima kasih kepada leluhur, tulang belulang, para
pejuang patriot yang gugur dalam medan perjuangan dan pergerakan untuk
menentukan nasib anak cucu kelak yang berbahagia. Selamat berjuang bagi pejuang
patriot Papua yang masih sedang mendaki demi menggapai puncak kemerdekaan
Papua.
Hampir
semua orang Papua meyakini bahwa 1 Desember adalah hari yang paling keramat dan
bersejarah dibandingkan dengan hari-hari besar lain. Karena 1 Desember adalah
tanggal dan bulan kelahiran semangat dan ideologi Papua yang sampai saat ini
masih terus dipertahankan dan diperjuangkan. Sehingga tidak salah kalau rakyat
Papua merayakan atau memperingati ulang tahun kemerdekaannya setiap bulan dua
belas.
Dua
bulan sebelumnya, dalam kongres Papua I, Belanda menunjukkan tekadnya untuk
mengakui dan menghormati Papua sebuah bangsa yang sejajar dengan
bangsa-bangsa lain di dunia. Pengakuan Belanda tersebut dapat dilakukan pada 19
Oktober 1961 di Port Numbay. Adapun dalam kongres Papua I menetapkan : a).
Bendera Bintang Kejora sebagai bendera bangsa Papua Barat, b). Hai Tanahku
Papua sebagai lagu kebangsaan Papua Barat, c). Papua Barat sebagai nama bangsa
dan, d). Nama negara sebagai negara Papua Barat dan menetapkan wilayah Papua
Barat.
Bahkan
dalam konferensi yang diadakan Belanda dengan Australia pada Maret 1960 di
Holandia, (sekarang Jayapura), Belanda berpidato secara terang-terangan di
depan publik bahwa pihaknya mengakui dan menghormati orang Papua sebagai sebuah
bangsa. Pada forum itu, Belanda ikut mendorong isu kemerdekaan Papua ke dalam
agenda untuk membuahkan kesepakatan bersama Australia guna menyiapkan persiapan
kemerdekaan Papua selama 10 tahun untuk membentuk Papua Barat sebagai negara
Merdeka.
Hal
ini dibuktikan dengan dokumen proposal menteri luar negeri, Luns, yang berisi
dokumen lengkap untuk menyiapkan kemerdekaan Papua (Alua, 2000, 24-25). Memang
bukan tekad yang baru bagi Belanda, tetapi dasar pemikiran untuk mempersiapkan
Papua sebagai negara itu sudah ada semenjak menguasai wilayah Papua. Sekitar
1940-an Belanda sudah mulai berfikir tentang kemerdekaan Papua, pada akhirnya
tekad resminya dinyatakan dalam kongres Papua I.
Bahwasannya,
1 Desember 1961 tidak hanya mengibarkan bendera suci Bintang Kejora dan lagu
nasional “Hai Tanahku Papua”. Tetapi lebih dari itu adalah menyadarkan orang
Papua sebagai bangsa dan melahirkan semangat baru untuk mempertahankan
identitas dari bahaya akan kepunahan ras Melanesia. Memang benar, pasca
mengumumkan butir–butir hasil kongres Papua I, perlahan kesadaran orang Papua
makin bertumbuh besar sampai ke pelosok Papua pun mulai tahu bahwa Papua adalah
bangsa yang merdeka dan berdaulat.
Bukti
kesadaran orang Papua tampak pada demonstrasi bulan November 1957 di kantor
gubernur, Hollandia. Tuntutan orang Papua saat itu ialah mendesak kepada
pemerintah Belanda melalui gubernur Niew Guinea Raad, Dr. Van Baal, agar
mengakui hak mengurus diri sendiri, hak berdiri sama tinggi dan duduk sama
rendah dengan pemerintahan Belanda, meningkatkan pembangunan ekonomi, sosial,
pendidikan, kesehatan, transportasi dan sebagainya, (Giay, 2000).
Sesungguhnya,
orang Papua tidak perlu memperingati kemerdekaannya di bawah kekuasaan
pemerintah Indonesia, kalau Belanda dan negara Barat tidak menguasai dan
terlibat dalam upaya menetukan nasib orang Papua. Sayangnya, sejarah berputar
pada jalur atau arah yang berbeda dari harapan semua pihak saat itu. Janji
Belanda untuk mempersiapkan kemerdekaan Papua selama 10 tahun hanya
meninggalkan janji manis lalu pergi.
Pemerintah
Indonesia yang baru merdeka kurang lebih 20-an tahun semakin mengila dengan
Papua. Sayang, negara yang baru saja dibentuk tersebut tidak bertahan lama
usianya. Baru 19 hari merdeka, pemerintah Indonesia, sekalipun tidak ada hubungan
darah dengan orang Papua, membubarkan dan mengusir kaum intelektual pribumi
Papua yang membentuk dan menyatakan Papua merdeka, melalui Dekrit Trikora 19
Desember 1961, di bawah kepemimpinan presiden Soekarno.
Masa-masa
itu, Indonesia merebut Papua dari kekuasaan Belanda dengan kerja keras, tipu
daya, dan manipulasi. Salah satu fakta adalah penandatanganan perusahaan
Freeport MacMoran antara Indonesia dan AS tanpa melibatkan satu pun orang
Papua, terutama pemilik gung Nemangkawi, Tembagapura Timika. Nota kesepahaman
ini kemudian dilaksanakan dua tahun sebelum pelaksanaan PEPERA yang juga
melanggar butir-butir hukum nasional dan internasional. Penandatanganan itu
menjadi jaminan bagi AS untuk mati-matian memperjuangkan Indonesia dalam
usahanya merebut Papua secara paksa dari pemerintah Belanda.
Sejarah
perbudakan AS, Belanda dan Indonesia terhadap orang Papua bahkan dibawa dan
dilahirkan di markas besar PBB di kota New York pada 15 Agustus 1962.
Perjanjian ini tidak hanya sekedar kesepakatan politik untuk merebut wilayah
Papua, tetapi lebih dari itu menjual harga diri orang Papua yang memiliki hak
dan derajat seperti manusia ciptaan Tuhan di belahan dunia yang berbeda pula.
Kemudian
menjelang PEPERA 1969, Indonesia melancarkan serangan melalui TNI/Polri BIN,
BAIS dan lain-lain sebagai upaya menutup ruang demokrasi dalam pelaksanaan
PEPERA. Dalam selang waktu 1962-1968, Indonesia tak henti-hentinya
menyebarluaskan kekuatan militer di seluruh tanah Papua dengan beraneka ragam
operasi militer. Akhirnya, Indonesia memenangkan PEPERA 1969 dengan moncong
senjata dengan melibatkan 1.025 orang dari 800,000 jiwa penduduk Papua kala itu.
Perlahan
semua orang Papua, termasuk para intelektual Papua yang membentuk dan
menyatakan kemerdekaan itu, disembunyikan dari muka bumi dan dunia demi
kepntingan ekonomi semata. Bukannya orang Papua tidak melawan, namun dukungan
AS terhadap Indonesia juga melancarkan operasi yang terus menerus membungkam
gerakan orang Papua yang meminta kemerdekaan pada waktu itu. Akses informasi
dan pengetahuan orang Papua yang terbatas juga menjadi peluang besar kedua
negara untuk memenangkan PEPERA dengan cara tipu daya.
Meski
demikian, sampai detik ini semangat orang Papua untuk mempertahankan kebenaran
sejarah dan identitasnya tidak diragukan lagi. Peristiwa yang disaksikan dan
dirasakan tua, muda, kecil dan besar 55 tahun silam itu terus bertindak dan
berterik dari atas tanah leluhur. Mereka yang dulu menjadi saksi dan korban
dari cara dan kekerasan Indonesia, AS dan Belanda itu berhasil menanamkan serta
menyebarluaskan sejarah itu.
Patut
diakui, Indonesia berhasil merebut Papua dengan menempuh cara-cara yang tidak
benar. Indonesia merasa bangga atas perebutan Papua secara paksa. Indonesia
mengakui perjuangan mengindonesiakan Papua adalah perjuangan yang murni dengan
proses dan mekanismen yang benar. Indonesia menganggap telah meraih impian
untuk memasukkan Papua ke dalam rumah Pancasila. Tetapi satu hal yang perlu
catat dalam buku sejarah Indonesia saat ini, bahwa semua perjuangan itu tidak
berakar pada kebenaran yang nantinya pasti akan terbongkar, cepat atau lambat.
Buktinya,
hari ini banyak gerakan perlawanan yang tumbuh dan berkembang baik di dalam
maupun luar negeri. Uniknya lagi, semua faksi perjuangan dan pergerakan di
dalam negeri telah bersatu, begitu pula dengan di luar negeri. Saat ini, untuk
membongkar kedok sejarah penipuan Indonesia dan AS terhadap Papua, orang Papua
membentuk wadah yang bernama United Liberation Movement for West Papua (ULMWP)
pada 2014 di Port Vila Honiara, ibukota Negara Vanuatu.
Gerakan
ini berhasil membawa isu Papua ke seluruh kawasan Pasifik, baik wilayah
Melanesia, Polinesia dan Micronesia. Tidak bisa lagi dipungkuri, ULMWP yang
menjadi wadah koordinatif dari organisasi PNWP, WPNCL dan NFRPB ini menggalang
dukungan sampai ke benua Eropa, Afrika dan Amerika. Bahkan baru saja orang
Papua mendapat berita segar dari dalam negeri, dimana pada 29 November, di
ibukota Jakarta, sebagian kalangan muda Indonesia mendeklarasikan Front Rakyat
Indonesia untuk West Papua (yang disingkat FRI-West Papua).
Luar
biasa, banyaknya dukungan yang kian muncul secara perlahan dan tidak langsung
telah meruntuhkan tembok guna membongkar tingkah laku Indonesia yang masih
sisip dalam arsip dokumen negara yang rahasia. Tidak bisa ampun lagi, Indonesia
sudah melanggar hak orang Papua kelewat batas atau di luar batas kewajaran.
Kini negara Indonesia dipersulit untuk mengindonesiakan Papua sebagai bagian
dari NKRI.
Ruang
bagi pemerintah Indonesia untuk mengindonesiakan orang Papua semakin sempit,
meski banyak program yang digulirkan ke Papua melalui pemerintah daerah.
Memang, Indonesia berhasil mengindonesiakan Papua melalui pemekaran, Otsus,
UP4B dan lain sebagainya, namum belum bisa mengindonesiakan ideologi orang
Papua. Sampai kapan pun, Papua tidak akan tahan lama dalam rumah Pancasila,
selain mengakui kemerdekaan orang Papua yang pernah Indonesia bubarkan melalui
operasi Tri Komando Rakyat (Trikora) pada 19661.
Dengan
latar belakang sejarah itu pula, orang Papua senantiasa berjuang melawan
pemerintah Indonesia. Kenyataan membuktikan bahwa 55 tahun orang Papua telah
melewati suka dan duka, bersama hujan dan panas untuk menggapai cita-cita
luhur, yakni Papua merdeka. Perjuangan itu sampai detik masih terus dan
tentunya akan terus berlanjut sampai titik darah penghabisan.
Selanjutnya,
orang Papua akan menjalani perjuangan yang baru dengan semangat yang baru.
Kiranya, dengan usia negara Papua yang makin dewasa ini dapat melahirkan
semangat patriotisme yang lama dan memberikan pupuk pada pergerakan bersama
rakyat. Semoga embrio Papua yang lahir 1961 dapat memperbaharui dan memberikan
semangat perjuangan kepada rakyat Papua.(indoprogress.com)
Bendera
Bintang Kejora (Fajar) pertama kali berkibar di Hollandia, kini disebut
Jayapura. Tidak hanya itu, lagu kebangsaan nasional Papua “Hai Tanahku Papua”
juga pertama kali dinyanyikan pada hari yang sama. Juga simbol dan nama bangsa
serta wilayah juga diumumkan kala itu. Upacara tersebut dilakukan di bawah
kekuasaan Dewan Niew Guinea Raad. Peristiwa bersejarah itu terjadi pada 55
tahun silam, tepat pada 1 Desember 1961.
Penulis Adalah
Anggota Aktif Perhimpunan Mahasiswa Katolik Republik Indonesia (PMKRI) St.
Efrem Jayapura, Papua
Tidak ada komentar:
Posting Komentar