Senin, 12 Desember 2016

Hitam Kulit,Keriting Rambut,Aku Papua


Foto Facebook Roberta Muyapa



Papua merupakan Tanah Harapan. Kata ini penuh makna. Kata ini hanya baru dapat diterjemahkan oleh Para Pendatang baik dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Mengapa? Karena hanya Para Pendatanglah yang memanfaatkan Tanah Papua sebagai Tanah Harapan. Tanah yang sangat menjanjikan bagi para pendatang yang berkeinginan untuk keluar dari kesusahan, selama mereka masih berada di Jawa atau Sulawesi. Bagaimana dengan Orang Papua sendiri? Pertanyaan ini sebetulnya yang bisa menjawabnya adalah orang Papua itu sendiri. Akan tetapi, jika melihat situasi kekinian di Jayapura, Abepura, Sentani, dan daerah-daerah lain di Tanah Papua. Untuk meningkatkan kemampuan Orang Papua butuh waktu paling tidak 20 atau 50 tahun lagi. 
Foto Facebook Grub Perempuan Tanah


Itupun, jika para Pemimpin dan Tokoh Adat Tanah Papua mempunyai perspektif anak, maka akan terlihat upaya-upaya Gubernur, Bupati, Walikota, dan para Kepala Adat dalam mewujudkan Tanah Papua untuk Orang Papua secara khusus dan Indonesia pada umumnya. Saat ini, anak-anak Papua memang betul-betul difasilitasi untuk bersekolah, akan tetapi mereka masih banyak diarahkan untuk mengisi posisi-posisi di pemerintahan. Namun bagaiman halnya di bidang bisnis. Khusus di Jayapura, Abepura, dan Sentani bidang bisnis di isi oleh Para Pendatang. Dampaknya adalah yang mengendalikan dunia bisnis (usaha) adalah Para Pendatang, sedangkan orang Papua hanya sekedar sebagai tukang sapu jalanan, penjual pinang dan umbi-umbian. Gambaran lain, kompleks-kompleks di Kota Jayapura dan Abepura penghuninya Para Pendatang, kalaupun ada Orang Papua di Kompleks, mereka yang ada di pemerintahan. Ataupun ada mereka menempati rumah sempit yang tidak layak huni. Suasana di jalanan, banyak kenderaan mahal baik mobil kijang dan sedan, pemiliknya Para Pendatang yang sukses. Kalau orang Papua cukup mobil berplat merah alias Pejabat Pemda dan sedikit Orang Papua yang Sukses (itupun mereka yang telah mengenyam pendidikan di luar Tanah Papua). Apabila kondisi dan situasi ini di biarkan secara terus menerus oleh Orang Papua, Pemerintah Papua, dan Tokoh Adat Papua? Maka, teori betawi akan berlaku. Menurut Teori Betawi, bahwa hanya pendatang yang akan sukses memanfaatkan semua kekayaan yang ada, sedangkan para pemilik kekayaan pada suatu waktu akan merana dan terusir dari tanah mereka itu sendiri. Teori Betawi ini telah teruji di Jakarta. Pertanyaan sekarang, apakah Orang Papua mau seperti Orang Betawi? Jawaban atas pertanyaan ini sesungguhnya sudah mulai terlihat. Itupun, jika Para Pemimpin di Tanah Papua menggunakan mata hati dan mau membaca tandah-tandah jaman. Rancangan Kedepan Apa yang harus dirancang ke depan? Pemerintah dan Tokoh Adat yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang No. 21 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dalam merancang pembangunannya harus mengacu pada Konvensi Hak Anak dan Kovenan Internasional Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU/11/2005), serta Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025). Point penting dari Konvensi Hak Anak bahwa tujuan pembangunan untuk anak Papua adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak Papua. Untuk mengetahui apa yang menjadi kepentingan anak Papua, Pemerintah dan Tokoh Adat perlu melakukan pertemuan dengan kelompok-kelompok dan atau forum anak. Melalui Wadah Partisipasi ini, Para Pemimpin dan Tokoh Adat dapat memperoleh informasi dan data mengenai apa yang menjadi kepentingan anak. Terutama apa yang mereka butuhkan di bidang kesehatan; di bidang pendidikan; di bidang perlindungan; dan di bidang infrastruktur.

Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dixie240803/kesejahteraan-orang-papua-hanya-ditentukan-oleh-orang-papua-titik_550e2a50a33311a52dba7f6b


Ayob Inubat
Ayob Inubat

This is a short biography of the post author. Maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec vitae sapien ut libero venenatis faucibus nullam quis ante maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec.

Tidak ada komentar: