Foto Facebook Roberta Muyapa
Papua merupakan
Tanah Harapan. Kata ini penuh makna. Kata ini hanya baru dapat diterjemahkan
oleh Para Pendatang baik dari Pulau Jawa dan Pulau Sulawesi. Mengapa? Karena
hanya Para Pendatanglah yang memanfaatkan Tanah Papua sebagai Tanah Harapan.
Tanah yang sangat menjanjikan bagi para pendatang yang berkeinginan untuk
keluar dari kesusahan, selama mereka masih berada di Jawa atau Sulawesi.
Bagaimana dengan Orang Papua sendiri? Pertanyaan ini sebetulnya yang bisa
menjawabnya adalah orang Papua itu sendiri. Akan tetapi, jika melihat situasi
kekinian di Jayapura, Abepura, Sentani, dan daerah-daerah lain di Tanah Papua.
Untuk meningkatkan kemampuan Orang Papua butuh waktu paling tidak 20 atau 50
tahun lagi.
Foto Facebook Grub Perempuan Tanah
Itupun, jika para Pemimpin dan Tokoh Adat Tanah Papua mempunyai
perspektif anak, maka akan terlihat upaya-upaya Gubernur, Bupati, Walikota, dan
para Kepala Adat dalam mewujudkan Tanah Papua untuk Orang Papua secara khusus
dan Indonesia pada umumnya. Saat ini, anak-anak Papua memang betul-betul
difasilitasi untuk bersekolah, akan tetapi mereka masih banyak diarahkan untuk
mengisi posisi-posisi di pemerintahan. Namun bagaiman halnya di bidang bisnis.
Khusus di Jayapura, Abepura, dan Sentani bidang bisnis di isi oleh Para
Pendatang. Dampaknya adalah yang mengendalikan dunia bisnis (usaha) adalah Para
Pendatang, sedangkan orang Papua hanya sekedar sebagai tukang sapu jalanan,
penjual pinang dan umbi-umbian. Gambaran lain, kompleks-kompleks di Kota
Jayapura dan Abepura penghuninya Para Pendatang, kalaupun ada Orang Papua di
Kompleks, mereka yang ada di pemerintahan. Ataupun ada mereka menempati rumah
sempit yang tidak layak huni. Suasana di jalanan, banyak kenderaan mahal baik
mobil kijang dan sedan, pemiliknya Para Pendatang yang sukses. Kalau orang
Papua cukup mobil berplat merah alias Pejabat Pemda dan sedikit Orang Papua
yang Sukses (itupun mereka yang telah mengenyam pendidikan di luar Tanah
Papua). Apabila kondisi dan situasi ini di biarkan secara terus menerus oleh
Orang Papua, Pemerintah Papua, dan Tokoh Adat Papua? Maka, teori betawi akan
berlaku. Menurut Teori Betawi, bahwa hanya pendatang yang akan sukses
memanfaatkan semua kekayaan yang ada, sedangkan para pemilik kekayaan pada
suatu waktu akan merana dan terusir dari tanah mereka itu sendiri. Teori Betawi
ini telah teruji di Jakarta. Pertanyaan sekarang, apakah Orang Papua mau
seperti Orang Betawi? Jawaban atas pertanyaan ini sesungguhnya sudah mulai terlihat.
Itupun, jika Para Pemimpin di Tanah Papua menggunakan mata hati dan mau membaca
tandah-tandah jaman. Rancangan Kedepan Apa yang harus dirancang ke depan?
Pemerintah dan Tokoh Adat yang diberi kewenangan oleh Undang-Undang No. 21
Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Papua dalam merancang
pembangunannya harus mengacu pada Konvensi Hak Anak dan Kovenan Internasional
Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (UU/11/2005), serta Undang-Undang Nomor 17
Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (2005-2025).
Point penting dari Konvensi Hak Anak bahwa tujuan pembangunan untuk anak Papua
adalah untuk kepentingan terbaik bagi anak Papua. Untuk mengetahui apa yang
menjadi kepentingan anak Papua, Pemerintah dan Tokoh Adat perlu melakukan
pertemuan dengan kelompok-kelompok dan atau forum anak. Melalui Wadah
Partisipasi ini, Para Pemimpin dan Tokoh Adat dapat memperoleh informasi dan
data mengenai apa yang menjadi kepentingan anak. Terutama apa yang mereka
butuhkan di bidang kesehatan; di bidang pendidikan; di bidang perlindungan; dan
di bidang infrastruktur.
Selengkapnya : http://www.kompasiana.com/dixie240803/kesejahteraan-orang-papua-hanya-ditentukan-oleh-orang-papua-titik_550e2a50a33311a52dba7f6b
Tidak ada komentar:
Posting Komentar