Catatan : Dibawah ini sengaja diturunkan artikel Paul Budi Kleden
berjudul "Indonesia Suka Lupa" yang pernah dimuat di Pos Kupang, 20
Agustus 2011.
Budi Kleden demikian ia biasa disapa adalah sorang imam Serikat Sabda Allah (SVD) yang masih muda dan tergolong produktif dalam menulis. Selain menulis artikel di media massa, ia juga menulis buku dan menulis kata pengantar untuk sejumlah buku tentang teologi, kebudayaan dan sastra.
Dari sekian karya tulis doktor teologi ini, artikel tentang"Indonesia suka lupa" ini sengaja dipilih karena dianggap relevan untuk tujuan praktis yakni soal membukukan ingatan. Sementara sebagai bagian terpisah disertai juga beberapa karya buku dari Budi Kleden.(Ben)
Indonesia Suka Lupa

(Dosen STFK Ledalero-Maumere)
Sumber : Pos Kupang, Sabtu, 20 Agustus 2011
![]() |
Judul Buku : Aku yang Solider, Aku Dalam Hidup Bekaul. Penulis : Budi Kleden Penerbit : Ledalero |
Pada satu hari Minggu, setelah misa, se-jumlah mahasiswa UI mengumpulkan
anak-anak di aula pertemuan paroki Uwa. Mereka bermain dan belajar. Mereka juga
bernyanyi, di antaranya lagu-lagi kebang-saan. Indonesia Raya dinyanyikan
dengan penuh entusiasme. Anak-anak sekolah itu menghafal seluruh syair lagu
tersebut.
Se-sudah
kegiatan tersebut, seorang mahasis-wa bertanya: di pulau nun jauh ini mereka
tidak lupa Indonesia. Apakah orang-orang penting Indonesia mengingat mereka?
Indonesia tampaknya sangat berarti bagi mereka. Apakah mereka sungguh dihargai
para pemimpin Indonesia? Dalam hati saya berkata: jangankan para pemimpin
Indonesia di Jakarta, di hati dan pikiran para pemimpin di Sikka pun belum
pasti mereka diingat dan dihargai.
Kita baru saja
memperingati hari ulang tahun kemerdekaan. Berbagai kegiatan di-rancangkan
untuk kemeriahan acara itu. Banyak tenaga dan waktu digunakan un-tuk peringatan
tersebut. Kegiatan di seko-lah praktis dilumpuhkan oleh persiapan dan
pelaksanaan perhelatan hari kenangan tersebut. Tampaknya, bangsa ini memang
member perhatian dan anggaran yang be-sar untuk peringatan, hari kenangan.
Ter-kesan, mengingat adalah satu keutamaan bangsa ini.
![]() |
Judul Buku : Membongkar Derita Penulis : Budi Kleden Penerbit : Ledalero |
Namun, ironisnya, kita serentak menjadi saksi betapa bangsa ini
digerogoti penyakit lupa. Kalau ada desa bernama Suka Maju, maka bangsa ini
bisa memenangkan kontes Negara Suka Lupa. Kita suka dan mengha-biskan banyak
energi dan waktu efektif un-tuk ritual peringatan, namun kita demikian gampang
lupa akan hal yang menjadi tu-gas utama dan keprihatinan pokok kita.
Lupa
pun sering menjadi alasan untuk me-nyelamatkan diri dari tanggungjawab yang
harus dipikul. Para pejabat Negara kita te-ngah mempertontonkan kecerdikan
menja-dikan lupa sebagai alibi untuk membela diri dan berkelit dari jerat
penilaian negatif publik. Pejabat di daerah menggunakan lupa sebagai penjelasan
mengenai keterli-batannya dalam kasus korupsi.
Karena suka lupa dan
pandai menyalah-gunakan kata lupa, maka para pejabat kita menjadi tokoh-tokoh
yang pandai mem-buat kisah fiktif. Pertemuan dengan Naza-ruddin disangkal
dengan mengarang kisah fiktif. Para penguasa anggaran dan benda-hara gampang
berfantasi ria membuat kui-tansi fiktif untuk kegiatan-kegiatan yang hanya ada
dalam khayalan. Akibatnya, dana bantuan sosial membengkak oleh pengeluaran
fiktif, sementara laporan me-ngenai penderitaan warga yang ditolak de-ngan
alasan berita palsu.
![]() |
Judul Buku : Teologi Terlibat Penulis : Budi Kleden Penerbit : Ledalero |
Yang dikhayalkan dijual sebagai kebenaran, sementara yang nyata
disangkal sebagai yang fiktif. Keada-an menjadi lebih parah ketika para
pene-gak hukum pun membiarkan diri dari menjadi bagian dari kisah fiktif.
Bangsa kita sepertinya kegandrungan sinetron dan para politisi menyelenggarakan
negara se-perti para pengarang sinetron. Sayangnya, konsekuensi yang harus
ditanggung warga yang miskin adalah riil dan tidak bisa di atasi semudah
mengarang kisah sinetron.
Di tengah hiruk pikuk
memperingati dan mengenang sejarah, ternyata kita ter-lampau gampang kita lupa
akan sejarah. Sejarah tidak diterima sebagai guru yang baik di tengah bangsa
ini. Tokoh yang be-berapa waktu lalu dikenal luas karena du-gaan pelanggar HAM,
bisa disambut gem-bira dan disinggasanakan sebagai tokoh kemanusiaan oleh para
pejuang kemanu-siaan. Sebaliknya, politisi yang konsisten dalam sikapnya
memerangi korupsi dan membongkar ketidakadilan, “dilenyap-kan” dari dunia
kehidupan dan gampang pula terhapus dari ingatan warga. Maka bukan mustahil,
lembaga-lembaga negara pun bisa terserang penyakit yang sama: tidak belajar
dari sejarah.
Belajar dari sejarah
perjuangan kemer-dekaan mungkin terlampau jauh. Sudah 66 tahun lalu kita
menyebut diri sebagai bangsa yang merdeka. Ternyata, belajar dari reformasi
yang baru terjadi 13 tahun lalu pun sudah teramat sulit.
![]() |
Judul : Dialektika Sekularisasi Penulis : Budi Kleden dan Sunarko Penerbit : Lamalera |
Perang terhadap korupsi sebagai satu agenda penting refor-masi
terlampau gampang dilupakan. Refor-masi yang digulir dengan maksud untuk
membuat pembaruan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara belum membawa dampak
yang diharapkan. Sistem ketatane-garaan dan mental aparat negara dialami rakyat
sebagai penghambat reformasi. Pe-ngaturan sistem penyelenggaraan kekua-saan
dalam perangkat undang-undang memberi kesan bahwa perangkat hukum itu masih
terlampau kuat melindungi kepenti-ngan pusat-pusat kekuasaan yang aktual.
Sementara itu, upaya pada
tingkatan sis-tem seperti pengurangan kekuasaan lem-baga eksekutif dengan
memperkuat posisi pembaga legislatif ternyata belum memba-wa dampak yang
memuaskan, sebab pe-nguatan ini tidak didukung oleh kualitas mental dan
intelektual yang mencukupi dari mereka yang menjadi para wakil rakyat. Praktik
korupsi ternyata tidak lagi menjadi monopoli lembaga eksekutif.
Kedudukan
politis yang lebih kuat dari lembaga legislatif dimanfaatkan untuk memperkuat
posisi tawarnya, bukan terutama demi kepentingan politis, melainkan lebih demi
kepentingan ekono-mis. Sebuah pertimbangan politis yang ma-tang tidak akan
membiarkan penumpukan kekayaan seorang wakil rakyat secara be-sar-besaran dalam
waktu yang terlampau singkat.
Seorang politisi kawakan
akan mempertimbangkan dampak politis dari berbagai tindakan dan ungkapannya, termasuk
tindakan pembengkakan keka-yaan secara terlampau mencolok. Karena orientasi
politis yang kabur, sementara kebutuhan penguatan ekonomi adalah sangat riil,
maka ada anggota lembaga legislatif yang cukup mudah diarahkan oleh pihak
eksekutif yang menginginkan sebuah pelaksanaan kekuasaan yang tidak banyak
diwarnai oleh kritik legislatif.
![]() |
Judul Buku : Kampung, Bangsa dan Dunia Penulis : Budi Kleden Penerbit Lamalera |
Ada wilayah di mana sejumlah warga yang mempunyai kesan, seolah lembaga
legislatif adalah pembela lembaga eksekutif di hadapan kritikan rakyat.
Dalam kondisi seperti ini, bukan mustahil para anggota legislatif kembali tampil sebagai aktor yang memainkan dengan piawai kecerdikan melupakan dan membuat yang lain lupa.
Bukan
sebuah keanehan dalam sejarah politik bangsa ini apabila ternyata kasus Nazarudin
dilupakan karena kecerdikan para anggota DPR yang partainya tengah mengalami
goncangan besar karena nyanyian si mantan bendahara partai. Sudah terlampau
lihai para politisi kita, termasuk para wakil rakyat kita, untuk mencari kiat
agar kita semua perlahan-lahan melupakan berita yang pernah demikian seru dan
menyita begitu banyak perhatian.
Pada tingkat daerah,
seperti di Kabupaten Sikka, bukan sebuah anomali politik apabila para anggota
DPRD yang sebelumnya sangat nyaring berbicara membongkar kasus dana bantuan
sosial, membuat daftar panjang para penerima bantuan dan daftar pengeluaran
yang diduga fiktif, mulai melupakan kasus ini dan membuat warga pun lupa.
Godaan dan tekanan untuk itu sangat banyak.
Menghadapi kecendrungan
besar untuk lupa, membuat orang lupa dan menyalahgunakan lupa, kita butuh
lembaga dan orang-orang yang terus-menerus bersuara, walaupun tidak selalu
terdengar menyenangkan dan disenangi.
Dalam kondisi seperti ini, bukan mustahil para anggota legislatif kembali tampil sebagai aktor yang memainkan dengan piawai kecerdikan melupakan dan membuat yang lain lupa.
John Baptist Metz pernah menyebut Gereja, dan kita bisa berbicara
mengenai agama pada umumnya, sebagai wadah yang melembagakan peran anamnetis
dan menghidupi memoria yang tak kunjung henti. Bersama wadah dan
lembaga-lembaga lain, agama-agama perlu secara berani berjuang melawan amnesia
kolektif yang sedang mewabah di dalam tubuh bangsa ini.
Agama-agama perlu
berjejaring dengan lembaga-lembaga lain, agar anak-anak di wilayah-wilayah yang
gampang diabaikan seperti di pulau Palue, tidak mudah dilupakan oleh para
penguasa negri ini. Suara anamnetis agama-agama diperlukan supaya berbagai
kasus ketidakadilan dan penggelapan tidak ditenggelamkan di bawah permukaan
penampilan yang saleh.
Sumber
: http://www.kompasiana.com/hellennurqolbi/rakyat-indonesia-suka-lupa_55195ae281331110779de0b5
Penulis
Mahasiswa Papua (Ayob Tabuni) Kuliah di Malang (Jawa Timur)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar