Para Rohaniwan mengutip ayat-ayat Kitab
Suci untuk memuji-muji
pemerintah, menginjak-injak jemaatnya
|
Rohaniwan yang memikul Kitab Suci sedang
menghambur-hamburkan ayat-ayat Kitab Suci tanpa makna Teologi di
Papua. Para Rohaniwan mengutip ayat-ayat Kitab Suci untuk memuji-muji
pemerintah, menginjak-injak jemaatnya dengan cara mengajak jemaat
tunduk kepada pemerintah.
“Tiap-tiap orang harus takluk kepada pemerintah yang di atasnya sebab
tidak ada pemerintah, yang tidak berasal dari Allah, dan
pemerintah-pemerintah yang ada ditetapkan oleh Allah,” khotbah para
Rohaniwan mengutip surat Paulus kepada Jemaat di Roma (Rm 13:1-3) di
media-media lokal di Papua sejak 50 tahun lalu.
Soalnya, sejak kapan Allah menetapkan pemerintahnya di Papua? Apakah
benar pemerintah Indonesia di Papua ditetapkan Allah? Apa indikator
pemerintah Indonesia di Papua suatu pemerintahan yang ditetapkan
Allah? Pemerintah yang ada suatu penetapan Ilahi adalah satu omong
kosong para Rohaniwan. Rohaniwan asal mengutip dan mengajar surat
Rasul Paulus kepada jemaat di Roma ini untuk Jemaat di Papua.
Karena asal mengutip, seorang Rohaniwan yang mestinya bertugas
mengajak dan menuntun jemaatnya keluar dari lingkaran setan kekuasaan
yang menindas dan membunuh malah mengajak jemaat menerima perilaku
pemerintah yang barbar. Rohaniwan lanjut mengutipnya begini: “Sebab
itu, barang siapa yang melawan pemerintah, ia melawan ketetapan
Allah, dan barang siapa yang melakukannya akan mendatangkan hukuman
atas dirinya.”
Kutipan ini jelas-jelas sang Rohaniwa menutup mata dengan pembunuhan
orang Papua atas nama penerapan hukum Negara kesatuan Republik
Indonesia di Papua. Pembunuhan atas keutuhan Negara dianggap lebih
penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keutuhan perpuluhan imbalan dari
khotbahnya lebih penting daripada keutuhan Jemaatnya. Keberlanjutan
pendudukan dengan bedil dianggap lebih penting daripada penghabisan
umat Tuhan.
“Khotbah yang mementingkan perpuluhan itu wajah Gereja yang memeras
dan menjajah umat Tuhan atas nama iman. Rohaniwan menjual ayat-ayat
Kitab Suci,” ujar Yulaghap Yuwukha.
Rohaniwan macam ini kalau dibaca dalam kerangka kitab Perjanjian
Lama: Nabi-nabi murni dan nabi-nabi palsu atau nabi pemerintah. Nabi
murni dan pemerintah sangatlah beda dari asal usul hingga kepentingan
dari khotbahnya. Nabi-nabi murni muncul secara alami. Tidak ada
pengangkatan atau pelantikan sebagai nabi. Kehidupannya bisa saja
sama seperti masyarakat lain. Kerja kebun dan mengurus keluarganya.
Kemudian menyampaikan ilham dengan situasi sosial politik dan
keagamaan yang berlangsung kepada masyarakat.
Nabi-nabi pemerintah adalah nabi-nabi yang dilantik dan diakui
pemerintah supaya menafsir dan mendoakan sesuai dengan kepentingan
pemerintah. Karena itu, Rohaniwan macam ini yang dibawa-bawa untuk
mendoakan acara-acara pemerintah. Mereka menyampaikan khotbah-khotbah
sesuai dengan kebutuhan pemerintah.
Kita kembali ke Surat Paulus. Para Rohaniwam memang sangat tidak
salah mengutipnya surat sang Rasul. Hanya, para Rohaniwan ini
mengutip ayat itu tanpa melihat konteks Rasul Paulus menulis surat
itu kepada Jemaat di Roma. Rohaniwan mengutip ayat itu begitu saja,
lalu memuntahkannya kepada Jemaat. Jemaat yang aman dengan Kitab Suci
mengamininya atau menolaknya, namun tidak pernah tunjukkan
penolakannya.
Supaya kena konteks, para Rohaniwa mestinya membaca ayat itu dalam
konteks jemaat Kristen di Roma atau membacakannya dalam konteks
Jemaat Kristen di Papua. Kalau bicara konteks Jemaat Roma, waktu itu
Jemaat di Roma berada dalam tekanan pengejaran dan pembunuhan dari
orang Yahudi dan orang Roma yang tidak beragama Kristen maupun
konflik internal komunitas Yahudi yang menganut Kristen waktu itu.
Karena itu, dalam konteks itu, Paulus menulis surat untuk mengajak
Jemaat Roma tetap beriman kepada Yesus dengan nasehat-nasehatnya. Ia
menasehati supaya tetap melihat Injil sebagai kekuatan Allah yang
menyelamatkan, bukan hukum Yahudi atapun pemerintahan yang berkuasa.
Paulus menekan saling melayani dalam kerendahan hati sebagai
orang-orang yang percaya kepada Yesus.
Ketika menafsir ayat pilihan kaum penjajah itu, Teolog asal Belanda,
Groenen OFM mengatakan, memang ayat itu menjadi nasehat Paulus soal
hubungan orang percaya dengan Negara, yang dinilai cukup positif.
Penilaian positif menjadi penekanan utama dan mesti dimengerti dalam
kerangka teologi Paulus dalam Surat Roma.
Sudah tersirat jelas, menurut Gronen, Teologi Paulus dalam Surat Roma
dapat dirumuskan “melalui pewartaan Injil semua orang berdosa
dibenarkan Allah karena percaya kepada Yesus”. Percaya terhadap misi
Yesus historis maupun imanen. Misi Yesus historis sudah jelas
memperjuangkan pembebasan manusia. Yesus berjuang membebaskan manusia
dari egoisme menguasai dan memeras yang terjadi dalam pemerintahan
kekaisaran Romawi yang berkuasa ketika Yesus memperjuangkan
pembebasan.
Ketika berbicara konsep suatu Negara, Agustinus, Uskup Hipo, dalam
bukunya “City Of God”, menguraikan konsep Negara dan hubungan
pemerintahan dan rakyat. Agustinus membedakan negara menjadi dua:
negara Surgawi dan negara Duniawi. Agustinus mengatakan, negara
Duniawi diperintah oleh manusia. Manusia memimpin dan memerintah
penuh dengan keegoisan, kebencian, kejahatan, dan peperangan.
Konsep sebaliknya, Agustinus menggambarkan negara Surgawi dipimpin
dan diperintah oleh Allah. Allah memimpin dan memerintah negaranya
penuh kebijaksanaan, keadilan, kebenaran dan kedamaian. Singkatnya,
negara Surgawi diperintah Allah dengan cinta dan pelayanan, serta
negara sekular diperintah oleh manusia penuh kebencian demi cinta
dirinya.
Kalau begitu, apakah negara Surgawi itu identik dengan lembaga Gereja
tempat para Rohaniwan mengadu nasib dan negara Duniawi itu identik
dengan lembaga negara pemerintah? Agustinus tidak mempersoalkan
konsep kedua negara sebagai lembaga organisasi Gereja dan politik,
melainkan sebagai cara hidup. Cara hidup yang ditunjukkan oleh
manusia pertama, Adam dan Hawa, Kain dan Habel, yang kemudian
diwariskan kepada kita. Kita menerima dan meneruskan warisan itu
dalam hidup kita sebagai manusia yang mencintai kejahatan dan
kebaikan. Kejahatan sebagai hakikat dari negara sekular dan kebaikan
sebagai negara surgawi.
Penggambaran itu menjadi jelas kalau hubungan pemerintah Indonesia
dan Jemaat di Papua sudah negatif dengan kejahatan Negara sebagai
satu cara hidup, apa artinya para Rohaniwan mengajak jemaat tentang
ketaatan terhadap pemerintah? Apakah hubungan positif para Rohaniwan
yang makmur dan sejahtera harus menjadi ukuran Jemaat yang menderita,
yang punya hubungan negatif harus tunduk kepada pemerintah? Ataukah
Jemaat harus menderita demi hubungan positif Rohaniwan dengan Negara?[suarapapua.com]
Penulis Mahasiswa Papua (Ayob Tabuni) Kuliah
di Malang (Jawa Timur)
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar