Minuman
keras (Miras), keras kepala di tanah Papua. Ya begitulah adanya. Tidak tahu
yang menjadi kepala batu. Tetapi yang jelas Miras menjadi salah satu masalah di
atara banyak masalah di tanah Papua. Miras telah menjadi kepala batu dan
membunuh orang Papua seperti masalah lainnya yang juga membunuh. Angka kematian
orang Papua saat ini semakin tinggi. Sementara itu, angka kelahiran sungguh
sedikit. Hampir setiap saat orang Papua banyak yang mati, ada yang karena
alkohol, ada yang mati misterius, ada yang mati keracunan makanan, ada yang
mati karena penyakit HIV dan AIDS, ada yang kerana yang lainnya. Pokoknya, mati
banyak! Lantas, ada banyak masalah yang keras kepala.
Orang
Papua yang mati itu, lebih banyak adalah anak muda usia produktif. Realitasnya
alkohol memang membunuh. Tetapi, pemerintah bilang Miras itu untuk Pendapatan
Asli Daerah. Sementara itu, ada juga istilah Miras Legal dan Miras Ilegal
padahal kedua-duanya membunuh. Minuman terus didatangkan di Papua dengan
perlindungan hukum dari pemerintah daerah dan dalam kendali keamanan.
Pelarangan Miras hanya terkesan retorika belaka. Peraturan daerah Miras masih
bermasalah. Sungguh ironis, hingga saat ini di tanah Papua belum ada satu pun
peraturan daerah yang jelas tentang Miras, kecuali Manokwari. Apakah Miras,
memang keras kepala?
Miras Candu?
Bisakah
kita menerima ketika mengatakan bahwa alkohol itu candu masyarakat? Entalah.
Tetapi, yang jelas di dunia ini, apa lagi yang bukan candu? Semuanya cantu?
Tidak tahu! Tapi katanya begitu. Sebenarnya pengertian tentang candu tidak
begitu dijelaskan secara detail. Makna candu kadang sama dengan ketagihan,
sesuatu yang sangat disukai atau sesuatu yang menjadi kegemaran. Tetapi candu
sebenarnya adalah nama getah dari buah Papaver somnifera, yang berfungsi untuk
mengurangi rasa nyeri merangsang rasa kantuk serta menimbulkan rasa ketagihan
bagi yang sering menggunakannya (Baca: Hasan Halwis, 2001).
Kecanduan
itu datang dari suatu proses yang perlahan menggerakkan kita untuk terlibat di
dalammya. Setelah kita terbiasa dengan kegiatan tersebut dan menjadi kegemaran
kita baru disebut sebagai kecanduan. Hanya saja candu kadang bermakna negatif,
dibandingkan kata kegemaran atau hobi, atau kebiasaan.
Minuman
keras adalah candu. Pemahaman ini bertitik tolak dari realita dan tidak bisa
dipungkiri. Ada beberapa teman dalam pembicaraan mengatakan hidup tanpa minum
alkohol rasanya kurang. Ucapan itu sepertinya sudah membenarkan alkohol (Miras)
sebagai candu.
Beberapa
teman mengakui bahwa, dengan minum alkohol (mabuk) membuat mereka percaya diri,
berani tampil di depan umum untuk mengekspresikan diri tentang bakatnya yang
terpendam. Ataupun berani untuk membuat kegaduhan, bahkan ada yang menjadi
berani untuk melakukan ataupun terlibat dalam kasus pemerkosaan, perkelahian
dan pembuhuhan. Ini membenarkan pengakuan Kepala Bidang Hubungan Masyarakat
Polda Papua Komisaris Besar Drs. Daud Sihombing SH, “Dari catatan polisi pada
setiap laporan akhir tahun, semua kejadian kriminal seperti pembunuhan,
pemerkosaan, penganiayaan, pencurian, penipuan, pemerasan, teror dan seterusnya
berawal dari miras. Miras ini membuat orang menjadi pemalas, bermental santai
tetapi ingin mendapat untung besar, dan semangat belajar para siswa sekolah pun
menurun (baca: Kompas, 17 November 2003). Hal itu terjadi karena seorang
alkoholik nalar sudah tidak akan berfungsi sebagai manusia normal barangkali
seperti orang kelainan jiwa alias gila.
Tradisi Miras
Kalau
sedikit kita buka lembaran sejarah Papua, kebiasaan minum alkohol muncul di
kalangan orang Papua melalui kontak orang-orang kulit putih dari Eropa, Melayu
dan orang Timor dari Tidore Ternate. Masalah alkoholisme juga ditemukan di
antara masyarakat luar Papua. Bedanya masalah alkoholisme di kalangan orang
bukan asli Papua tidak begitu terlihat. Kalangan orang pegunuangan Papua mereka
tidak sama sekali mengenal minuman beralkohol. Tidak ada tradisi pesta minuman
keras, karena tidak ada baku untuk produksi alkohol.
Daerah
pesisir pantai Papua lebih dahulu sudah melakukan kontak dengan orang luar Papua
dan telah mengenal minuman beralkhohol dari pohon kelapa ataupun aren yang
disebut sagero (saguer/bobo). Namun, minuman keras tradisional itu tidak
membunuh Seorang aktivis Aborigin, Charles Perkin menuliskan, bahwa orang
Aborigin sering minum dalam pertemuan-pertemuan tradisional, tidak sebagai
minuman-minuman yang sengaja melanggar tata cara minum sebagimana mestinya.
Mereka justru memenuhi sindrom “kasihanilah saya” kalau mereka di perbolehkan
memperlihatkan tata cara minum yang tidak dapat diterima umum (Baca: Rutih
Hardjono, 1992). Hal yang sama juga terjadi di kalangan para pecandu alkohol di
Papua. Kadang minum hanya untuk mecari perhatian, ataupun untuk melampiaskan
emosi. Dengan demikian mereka terlihat sebagai manusia yang tidak dewasa menyelesaikan
masalah.
Konspirasi Bisnis Miras
Ada
pihak-pihak tertentu yang berusaha mecari keuntungan dari minuman keras produk
impor. Orang gila harta! Mereka inilah penyebab sulitnya Miras dihentikan atau
diberantas dari agen-agen pemasara dan peredaran atau jalur urat pasar Miras.
Kalau urat ini putus mungkin akan mengurangi orang menjadi pecandu Miras.
Di
tanah Papua Miras diperdagangkan tanpa upaya membumi hanguskan. Ini terjadi
karena ada konspirasi (persekongkolan) antara pihak keamanan, pemerintah dan
pengusaha Miras. Mereka bersekongkol, bekerja sama (secara diam-diam) mencari
keuntungan. Pengusaha bar, diskotik membutuhkan minuman keras. Ada pejabat yang
juga punya diskotik atau bar, dan ada pejabat atau DPR kita sebagai penikmat
bar, bir, bor (3b). Bagi pemerintah daerah, Miras dilihat sebagai komoditas
penghasil uang. Pendapatan daerah lebih besar didapat dari Miras. Sedangkan
pihak keamanan mendapat uang pelicin dari masuknya Miras ke Papua. Jadinya,
kita hanya baku tipu soal operasi Miras.
Walaupun
Kepala Kepolisian Resort Kota Jayapura (Kapolresta) Djonsoe pernah mengatakan
bahwa “Dengan adanya ketertiban seperti itu agar daerah ini menjadi aman dan
kondusif bebas dari Miras. Sudah cukup orang mati gara-gara Miras, ketegasan
ini harus kita terapkan kembali” (baca: Harian Bisnis Papua, Edisi Jumat, 6
Juli 2007 Hal. 2). Ungakapan itu diragukan, karena seolah-olah hanya Miras
Ilegal yang merusak orang Papua. Padahal, Miras Legal dan Ilegal sama-sama
membunuh dan merusak orang dan bangsa Papua.
Memang
polisi selalu melakukan sweeping di pelabuhan-pelabuhan, misalnya seperti di
Jayapura setiap penumpang yang tiba dengan Kapal Putih. Namun ini rupanya upaya
untuk mengamankan bisnis Miras Legal, agar Pajak yang dibayarkan kepada
Penguasa tetap lancar, aman, tepat waktu dan tidak berkurang. Aparat polisi
juga kadang mengharapkan sedikit ongkos rokok dari jual-beli Miras di
tengah-tengah masyarakat Papua. Selain itu, operasi Miras dilakukan untuk
menyembunyikan fakta adanya persekongkolan. Barangkali agar tidak dicurigai
masyarakat sebagai lahan bisnis. Aparat mendapat uang saku dari pekerjaan itu.
Oleh karenanya, setiap upaya pejabat untuk membatasi peredaran Miras Ilegal
nampaknya sebagai upaya mencari makan dan operasi perlindungan terhadap
peredaran Miras Legal (www.Papuapost.com,
17 Juli 2007).
Secara
terselubung, polisi juga bertujuan untuk memupuk tindak kriminal di
tengah-tengah masyarakat Papua agar tercipta citra buruk bahwa bangsa Papua
adalah bangsa biadab yang perlu dididik oleh bangsa lain yang beradab. Larangan
peredaran Miras Ilegal tidak akan memperbaiki kondisi buruk Bangsa Papua.
Karena itu tugas Bangsa Papua saat ini adalah bagaimana melepas ketergantungan
terhadap Miras.
Politik
Miras membuat pejabat untung sendiri dan meminabobokan mereka di atas uang.
Membuat mereka tidak kritis, bahkan semakin kerdil dalam berpikir soal penyakit
sosial yaitu kemiskinan dan kasus Miras yang mengancam nyawa dan mental
rakyatnya. Seharusnya ada proteksi, mengeluarkan peraturan daerah, baik
mengenai minuman keras maupun terhadap arus budaya luar yang mengacam masa
depan identitas etnik kultural, ekonomi, sosial, hukum dan politik Papua.
Walaupun
ada peraturan tentang penjualan Miras, namun nampaknya proteksi terhadap Miras
tidak berjalan baik, bahkan tidak dilakukan dengan sungguh-sungguh. Alasanya
barangkali karena Miras memiliki pasokan devisa cukup besar. Mereka seolah-olah
mebalik fakta bahwa alam Papua adalah kaya-raya. Bisa datangkan uang kalau
dikelola dengan baik. Tidak mengeksploitasi alam untuk diri senediri.
Sebagaimana yang selama ini dilakukan oleh militer, elit Papua dan pengusaha
dalam mengeploitasi alam Papua untuk kebutuhan mereka sendiri. Pemerintah
daerah kita memilih melakukan spekulatif dalam membangun Papua tanpa memikirkan
proteksi terhadap hal-hal kecil, mendasar yang merusak, misalnya Miras,
lunturnya adat dan budaya serta yang lainnya. Pemerintah melegalkan Miras,
memperbolehkan perdaganan Miras.
Di
Jayapura, semakin banyak pasokan Miras, semakin banyak orang alkholik. pendapatan
daerah besar (Suara Perempuan Papua, No. 32 Tahun II, 20-26 Maret 2006).
Pasokan retribusi dari Miras setiap tahun untuk Jayapura terus meningkat. Pada
tahun 2002 -2003 pasokan retribusi pemerintah daerahnya sebesar Rp 1.
400.000.000 (Satu Miliar Empat Ratus Juta Rupiah), tahun anggaran 2006
mengalami peningkatan menjadi Rp 3.000.000.000 (Suara Perempuan Papua, No. 32
Tahun II, 20-26 Maret 2006). Itu baru Jaya Pura, bagaiman dengan kota lainnya
di tanah Papua?
Pemberantasan Hanya Wacana
Itulah
sebabnya, pemberantasan Miras hanya menjadi wacama. Dengan menghilangkan
angapan kolot, bahwa Alkohol hanyalah suatu masalah di kota-kota besar dan
tidak di kota-kota kecil ataupun di perkampungan yang terpencil. Justru di
tempat-tempat terpencil saat ini masalah alkohol sangat kritis. Tingkat
penganguran sangat tinggi, di antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang
amat sangat, dan sekolah-sekolah setempat tidak dapat menampung minat kaum
muda. Mengonsumsi tanpa mengetahui efek samping dan dampak sebagai pembunuh
jiwa manusia sehat.
Mengapa
demikian? Orang yang alkoholik tetap terlihat seperti kelainan jiwa, sakit
jiwa, sebagai akibat melemah atau matikanya syaraf ingatan. Di sanalah kaum
perubah dan sasaran diskusi menjadi tempat pilihan. Tidak hanya diskusi tetapi,
kemudian menjadi wujutnyata, karya bagi pembebasan manusia dari
keterbelengguhan jiwa.
Pecandu
alkohol di Papua terus bertambah. Sudah sangat menjarah di kalangna muda dan
tua. Miras menyebakan meningkatnya tingkat kriminalitas di kota maupun di
perkampuangan. Dan saat ini pembunuhan bermotif alkohol semakin gencar untuk
melakukan tindakan genosida di Papua. Ada beberapa kasus, misalkan pada tahun
1999, seorang intelek Papua, Obet Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang
dibunuh oknum tertentu. Untuk menghilangkan jejak, pembunuh lalu menumpahi
minuman beralkohol di bagian mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak biasa
mengonsumsi minuman beralkohol. Kita juga masih ingat untuk kepentingan membeli
alkohol Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya yang sudah
Mabuk karena Miras.
Alkohol Membunuh
Alkohol
(Minuman Keras) memang dibutuhkan oleh tubuh manusia. Tetapi, alkohol juga
membawa dampak buruk. Salah satu masalah utama yang saat ini sedang dihadapi
orang Papua adalah alkoholisme atau sering disebut kecanduan alkohol
(alkoholik). Ini tidak berarti semua anggota masyarakat Papua alkoholik, tetapi
alkohol sudah meradang bagaikan penyakit kanker yang lama kelamanan membunuh.
Banyak
orang Papua mati karena mengonsumsi minuman keras. Minuman keras telah
membunuhan baik membunuh secara fisik maupun karakter sebagai orang Papua. Membunuh
secara fisik karena (1) minuman keras bisa menyebabkan berbagai penyakit,
seperti penyakit jantung, lifer dan lainnya; (2) oknum tertentu bisa mebunuh
kita setelah dia minum sampai mabuk; (3) setelah mabuk kita bisa saling
membunuh karena mudah terprovokasi; (4) hanya untuk mendapatkan uang untuk
membeli minuman keras kita bisa menjual atau menyerahkan teman kita untuk
dibunuh oknum tertentu.
Secara
fisik misalnya, alkohol itu membunuh karena banyak yang mati. “Dalam beberapa
bulan ini saja, sudah sebanyak 365 orang dari suku Mee meninggal dunia di
Nabire. Ini bukan mengada-ada, tapi data yang kami temukan di lapangan,” kata
Tokoh Masyarakat Nabire Ruben Edoway alam sebuah diskusi di Nabire seperti yang
dikutip PapuaPos, 20 Mei 2007.
Data di
atas ini hanya di Kabupaten Nabire dan itupun hanya suku Mee saja. Lalu
bagaimana dengan suku lainnya di Nabire? Kemudian bagaimana dengan Jayapura,
Timika, Sorong, Merauke, Biak, Serui, Fak-fak, Wamena, Pegunungan Bintang,
Enarotali, Puncak Jaya dan lainnya?
Sementara
itu, secara psikis alkohol akan mmembunuh pola pikir kita. Kita tidak akan
pandai untuk berpikiran kritis, kita tidak akan mengerti mengapa tidak ada
hukum yang ketat tetang minuman keras di Papua? Padahal minuman keras itu
membuat kita tetap pada peradaban yang rendah, tidak membuat kita maju,
ujung-ujungnya kita tetap ingin dibuatnya bodok. Dalam sejarah suku Aborigin di
Australia misalnya, suku itu menjadi minoritas dari segi kualitas maupun
kuantitas karena diminabobokan dengan alkohol.
Miras dan Penyakit Menular
Di
Papua, sekalipun di kampung, saat ini alkohol menjadi masalah sangat kritis.
Padahal dulu orang kampung tidak tahu Miras. Adanya jalur transportasi
mendorong orang datang ke kampung berdagang Miras. Walaupun harganya mahal,
mencapai ratusan ribu/botol. Namun, laku keras, mereka ingin merasakan pengaruh
yang datang dari kota besar, seperti Miras.
Mereka,
terutama kelompok muda meninggalkan kebun, ternak dan kebiasaan hidup tentram
di kampung. Mereka mengimpikan kota. Ingin sama seperti orang kota. Mereka
berbondong datang ke kota tanpa tujuan apapun, sekedar jalan-jalan datang hidup
berfoya-foya di kota yang baru berkembang. Kehadiran mereka memadati
ruang-ruang aktifitas sosial masyarakat kota yang baru berkembang, seperti di
pasar, terminal, pelabuhan. Sementara mereka tidak punya pengetahuan tetang
keadaan dan kondisi kehidupan di kota. Mereka juga belum memiliki skill untuk
kerja di kota.
Dampaknya,
di kota banyak pengganguran dan kriminalitas meningkat. Karena mereka yang
datang dari kampung memperbanyak jumah penganguran, menjadi sangat tinggi. Di
antara generasi mudahnya terjadi kebosanana yang amat sangat. Sementara sekolah-sekolah
dan wadah kepemudahan setempat tidak dapat menampung minat kaum mudah. Karena
mengalami sok berat alkohol menjadi fokus utama dalam kehidupan penduduk asli.
Mereka mengkonsumsinya tanpa mengetahui efek samping dan dampaknya sebagai
pembunuhan terhadap jiwa dan fisiknya yang sehat.
Hingga
kini Miras sudah meradang bagaikan penyakit kanker yang lama kelamanan secara
perlahan mematikan masyarakat. Dampak dari alkohol, dinegara-negara koloni atau
negara-negra yang dijajah dapat ditemukan, bahwa alkohol itu salah satu alat
untuk mebunuh orang yang dijajah. Para penjajah (kolonialisme) mematikan fisik
dan fisikis orang yang dijajah. Tentu dilakukan demi kepentingan politik
(menguasai) dan ekonomi (barang). Hal seperti ini perisi terjadi di Australia
Pemerintah Ingris terhadap penduduk asli (Aborigin) juga di koloni Ingris
lainnya di Amerika terhadap suku Asli Indian. Indian dan Aborigin keduanya
menjadi suku menoritas di tanyanya sendiri dinegeri mereka.
Menyadari
akan bahayanya Miras masa depan anak cucu, ratusan perempuan Mimika yang
tergabung dalam Jaringan Perempuan Mimika (JPM) menggelar demo menolak
peredaran minuman keras (Miras) di Mimika, Papua. Ratusan perempuan itu membawa
puluhan poster dan spanduk, antara lain bertuliskan "Miras Jahat",
"Jangan Bunuh Anak Cucu Kami dengan Miras", dan "Miras Bukan
Adat Orang Papua". "Banyak kekerasan terjadi karena Miras (TEMPO
Interaktif,Jum'at, 02 Maret 2007).
Dalam
konteks Papua Secara fisik telah banyak orang yang mati, karena mengonsumsi
minuman keras. Mereka terserang berbagai penyakit, ada yang mati karena dibunuh
sewaktu mabuk. Adalagi yang hanya karena ingin mabuk mebunuh sesamanya. Orang
mabuk, terlihat kasar, lepas kendali dari kontrol diri sebagai manusia normal.
Mereka seolah-olah terlihat berani melakukan apa saja. Kegaduan dan perkelahian
pun bisa terjadi, bahkan sampai kehilangan atau menghilangkan nyawa manusia.
Sekali pun dia rekan seperjuanganya atau bahkan seetnis-kultural atau bahkan
keluarganya sendiri, dijual atau dibunuhnya. Sehingga konflik terjadi karena
ada propokasi oleh pihak-pihak tertentu. Kematian satu orang, rohnya seperti
meminta koraban dan memakan korban jiwa lebih dari satu. sebelum berdamai
dengan dikeluarkan uang bermiliaran rupiah.
Melalui
motif alkohol terjadi tindakan genosida di Papua. Menurut Martin Sardi, dalam
sebuah rengan memperintati hari HAM dikatakan genosida karena terjadi
pembunuhan terhadap intelektual dan pemimpin, sehingga membuat rakyat mereka
tidak teratur. Kacau balau, karena tidak ada pemimpin.
Ada
bebrapa kasus, misalkan pada tahun 1999, seorang tokoh terpelajar Papua Obet
Badii, Dosen Filsafat Fajar Timur yang di bunuh oknum tertentu. Untuk
menghilangkan jejek, pembunuh lalu menumpahi minuman beralkohol dibagian
mulutnya. Padahal yang sebenarnya ia tidak mengonsumsi minuman beralkohol.
Arnol Ap seorang tokoh intelek mudah dijual oleh temannya seharga 4000 ribu
untuk beli minuman keras.
Penjabat
Gubernur Papua, Dr. Sodjuangon Situmorang, M.Si berkomitmen, bahwa dirinya
tidak akan menerbitkan perijinan masuknya minuman keras (Miras) ke Papua, dalam
upaya pencegahan tingginya kasus tindak kriminal. Di Papua, namun karena
tingginya angka kasus HIV/AIDS dan peredaran gelap Narkoba di Papua, yang
berawal dari pengkonsumsian Miras. Karena Miras dalah pemacu tindakan kriminal,
yang juga sebagai pemacu peredaran gelap Narkoba yang berujung pada kasus
HIV/AIDS. Akibat pengkonsumsian Miras dalam jumlah yang banyak, dapat berdampak
buruk pada tingkat kesadaran seorang manusia. Sehingga demikian, apabila seseorang
telah dalam keadaan diluar kendali atau mabuk, maka dapat menimbulkan keresahan
masyarakat.
Sedangkan
kaitannya dengan HIV/AIDS, seseorang dalam kondisi yang mabuk, sebagian besar
melakukan hubungan seks yang tidak aman atau tidak memakai pelidung (kondom).
Hal demikian, tentunya menjadi pemicu penyebaran HIV/AIDS di Papua, yang setiap
tahunya meningkat secara terus menerus.
Menurut
penelitian yang dilakukan, sebagian besar pengkonsumsi Narkoba, sebelumnya
mengkonsumsi Miras. Dengan demikian, maka Miras adalah pemicu berbagai tindak
kejahatan yang seharunya diberantas. "Saya tidak berniat untuk
mengeluarkan ijin-ijin Miras, karena itu juga merupakan salah satu upaya kita
untuk menekan angka-angka tingkat kejahatan, peredaran Miras, Narkoba, dan kasus
HIV/AIDS di Papua," ("http://www.papua.go.id/berita.php/id"
12 May 2006).
Penderita
HIV/AIDS sudah semakin tinggi di Papua. Ada indikasi terjadi karena pengaru
minum alkohol yang mendorong keinginan sex semakin besar dan melampiskan nafsu
birahinya dengan meniduri sembarangan wanita. Melakukan ganti-ganti pasangan.
Sulit di ketahui sekalipun gadis yang ditidurunya adalah penderita HIV/AIDS
(ODHA) yang barangkali memperdagangkan tubuhnya.
Di
Papua dagangan sepeti itu, bukan hanya di tempat-tempat penampuangan PSK yang
dapat terkontrol bila keketahui ODHA. Malahan orang dengan ODHA mendagangkan
tubunya di rumah makan (tersedia kondom), dan bahkan ditempat-tempat umum,
pusat keramaian (terminal, stasiun, pasar dsb). Dan ini menjadi sasaran pria
hidung belang, terutama mereka yang mabuk pata, tidak tahu diri. Ini sangat
berbahaya. Apalagi sekarang jumblah ODHA yang sudah terdata mencapai kurang
lebih 3.377 jiwa. Kebanyakan dari mereka adalah, anak mudah, masih usia
produktif. Namun usia mereka sudah terbatas, kasarnya tinggal tunggu waktu.
Keadaan itu membuat setiap individu harus hati-hati dan lebih waspada. Sebab
kalau itdak berapa tahun kedepan barang kali etnis dan kultural orang Papua
bisa punah. Bisa tinggal sejarahnya, mengenai kepunaannya. ( Pace mace kalu
cinta Papua, stop mabuk sudah!).
Dengan
begitu sangat besar ancaman terhadap kepunaan bagi ras Papua yang semakin
menjadi minoritas di atas tanah airnya (Papua tercinta). Minoritas disini
karena keterbelangana, minuman keras merusak karakter, pola pikira dan jiwa
orang Papua. Juga menjadi minoritas dalam kuantitas, jumbalah penduduk tidak
berkembang maju, saat ini kuran lebih 1,3 juta jiwa berbading lurus dengan
penduduk bukan asli Papua. Jumblah itu termasuk ODHA.
Secara
fisikis, terkait dengan mental dan cara berpikir orang Papua. Orang Papua saat
ini sulit bersanging dengan masyarakat lain dari luar Papua yang seolah-olah
nampak lebih maju dalam berpikir. Saat ini di Papua secara sosial ekonomi
mereka mejadi tetap miskin dan minoritas di negerinya sendiri.
Bisa
jadi karena karakter Papua yang sebenarnya adalah pekerja keras. Hidup melawan
lebatnya hutan, derasnya sungai dsb, kini menjadi malas. Adanya kontak dan
masuknya budaya negarif, seperti Miras dan lainnya merubah kebiasaan hidup
orang Papua. Sekarang ada kelompok anak muda lebih doyan kumpul-kumpul sambil
minum-minum minuman keras. Atau menjadi pengikut anak orang kaya yang dengan
banyak uang mentraktir Miras sebagai rasa keakuan (egonya) biar dihormati.
Sebagaiman terjadi di kota tempat saya menulis tulisan ini. Ada anak pejabat
yang sukanya mentraktir minuman keras berkarton-karton biar dia mendapat
pengakuan dari temam-teman bahkan kakak yang bisa saja di permainkan dengan
Miras. Anekan!
Kebiasaan
mabuk pata membuat kemungkinan besar pikiran dan nalar tidak akan bekerja baik,
karena alkohol yang berlebihan dan terus menerus mereka konsumsi akan
melemahkan syaraf-syara otak manusia. Manamungkin akan konsetrasi dalam
belajar. Mengapa demikian? Orang yang alkoholik terlihat seperti orang kelainan
jiwa, sakit jiwa sebagai akibat melemahnya saraf. Dengan begitu kebiasaan mabuk
bagi orang Papua baik dikalangan muda Papua maupun pejabat akan berbahaya bagi
masa depan Papua. Menghambat kemajuan di Papua kalau tidak ada keinginan atau
kerinduan untuk meninggalkan kelakuan buruknya, seperti, mabuk-mabuk, free sex
dan sebagainya. Perbuatan itu tidak terpuji oleh agama dan bukan merupakan
budaya Papua.
Dalam
kasus keterbelanganan yang dialami orang Aborigin, Justice Muirhead, mantan
pemimpin dari Penilitian pada kematian Aborogin di dalam tahanan, mengatakan
bahwa kaum Aborigin tidak akan keluar dari lingkaran kemiskinan dan Alkholisme
terkecuali ada usaha dari mereka sendiri. (Rutih Hardjono, 1992). Di belahan
dunia masyarakat asli, seperti Indian di Amerika, Aborigin di austrlia,
termasuk juga Papua menjadi puna. Salah satunya karena minuman keras yang
mengakibtkan kematian fisik dan bahkan fisikis menjadi orang terlelakang di
negerinya sendiri.
Dalam
hal minuman keras ini, kita (orang Papua) harus menyadari sendiri terutama
dimulai dari individu, keluarga dan kemudian kolektifitas kita dalam melakukan
aksi menentang Miras terhadap diri kita dan terhadap generasi Papua. Ataupun
membentuk tim pemberantas Miras, seperti misalnya di Asutralia, kenyatakan
bahayanya minuman keras mendorong Muirhead untuk menekankan, bahwa Australia
harus membentuk suatu tim khusus untuk menangani masalah alkholisme di sana.
Lebih lanjut tuturnya, Alkoholisme merupakan salah satu tragedy yang terbesar
di negeri ini (Australia). ( The Raal Black Economy, Rutih Hardjono,
1992).
Begitu
juga dengan di Papua, alkohol sangat berbahaya, membunuh tradisi masyarakat
asli Papua yang unik dan kaya. Seperti dikemukakan, Wakil Gubernur Papua, Alex
Hesegem, bahwa kebudayaan Papua saat ini memiliki masalah pewarisan. Sebab,
potensi budaya hanya tersimpan pada orang tertentu, terutama orang tua.
"Orang muda cenderung meninggalkan akar budaya dan mengikuti tren
global,"(Tempo).
Dimana
saat ini orang Papua sedang mengalami transisi budaya, degradasi kepemimpinan
dan moral. Kalau terus terjadi dalam beberap tahun ini kita tidak akan
mempunyai pemimpin yang berpegang pada budaya dan adat mengenai
upacara-upacara, seni tari, musik, dan sastra tradisional suku-suku di Papua.
makanan tradisional, benda budaya, dan obat tradisional, yang harus dijaga,
dirawat dan dikembangkan.
Generasi Papua Harus Sadar
Generasi
muda Papua harus menyadari sendri akan bahaya alkohol. Untuk itu harus dimulai
dari dan kolektifitas kita. Seperti pernah dikatakan juga oleh Justice
Muirhead, bahwa kaum Aborigin tidak akan keluar dari lingkaran kemiskinan dan
alkoholisme, terkecuali ada usaha dari mereka sendiri. Kenyataan itu mendorong
Muirhead untuk menekankan, bahwa Australia harus membentuk suatu tim khusus
untuk menangani masalah alkholisme. Lebih lanjut tuturnya, Alkoholisme
merupakan salah satu tragedi yang terbesar di Australi ( baca: , Rutih
Hardjono, 1992.
Alkohol
sangat membunuh tradisi dan nyawa masyarakat asli seperti yang terjadi di
Papua, Aborigin dan suku-suku asli lain di dunia. Dalam situasi seperti itu,
saat ini orang Papua harus sadar bahwa kita sedang mengalami transisi budaya,
degradasi kepemimpinan dan moral. Dalam beberapa tahun ke belakang ini, bisa
jadi kita tidak akan mempunyai tetua adat lagi dengan warisan kebudayaan, ilmu
pengetahuan mengenai upacara-upacara dan otoritas suku di belakang mereka. Lagi
pula saat ini, tentu ada yang sudah dimakan usia bahkan ada yang telah
meninggal.
Sedangkan
banyak dari kita jarang atau bahkan tidak pernah belajar dari mereka. Kita
lebih cenderung membuka mata terhadap budaya dan tradisi luar, namun tidak
dewasa untuk menyikapinya. Dengan mentah-mentah menelan kebudayaan luar tanpa
menyaringnya. Kadang kita terima tanpa bisa membedakan mana yang baik dan mana
yang dapat merusak. Ada contoh, banyak di antara kita menjadi alkoholik karena
tidak mengetahui manfaat dan dampak dari alkohol.
Jadi,
kini anak muda Papua harus sadar dengan bahaya ini. Minuman keras itu membunuh
fisik (tubuh) kita dan mental (cara berpikir) kita. Alkohol itu menbunuh dan
mari kita lawan bersama. Cara kita melawa adalah tidak mengonsumsi. Kalau Anda
tidak beli dan tidak minum maka Anda sedang melawan minuman keras dan menyelamatkan
dirimu dan bangsamu Papua.
Langkah Harus Konkret
Pro
kontra mengenai mengenai ijin penjualan Miras di tanah Papua masih terus
terjadi. Ada pihak yang mengatakan walaupun aturan diperketat namun Miras
sekarang sudah bisa diracik sendiri oleh masyarakat Papua. Sehingga aturan yang
ketat sekalipun bukan menjadi solusi. Solusinya, kita harus sadar kalau Miras
berbaya dan kita harus berhenti mengkonsumsinya.
Pemerintah
sendiri keliharanya tidak serius menangsni kasus Miras. Buiktinya Miras masih
dibiarkan beredar di Papua. Ada kelas Miras yang legal dan ilegal. Inilah bukti
ketidak seriusan itu. Seangdainya pemerintah punya peduli terhadap masa depan
orang Papua seharusnya melarang segalah jenis Miras masuk di Papua. Sedangkan
bagi pihak yang memperdagangkan, mengkonsumsi dikenahi hukuman.
Pemerintah
daerah di Papua harusny menyatakan pereang terhadap minuman keras. Seperti yang
dilakukan di Oksibil, Ibukota Kabupaten Pegunungan Bintang Papua, Jumat (17/8),
ditandai dengan pemusnahan minuman keras yang dilakukan Bupati setempat
Wellington Wenda bersama tokoh masyarakat dan tokoh agama. Bupati dalam
sambutannya mengatakan, pihaknya bersama DPR saat ini sedang merancang
peraturan daerah tentang larangan memasukkan Miras ke daerah tersebut.
"Kami perang dengan Miras, karena itu, akan merusak generasi muda di daerah
ini," tegas Bupati sesaat setelah detik-detik proklamsi yang digelar di
lapangan Oksibil, Jumat. (Oksibil, CyberNews. Jumat, 17 Agustus 2007 ). Bukan
karena hari besar, 17 Agustus atau Natal dsb, tetapi secara konsisten akan
memerangi Miras dengan mengilegalkannya.
Inipekerjaan
rumah itu sangat sulit dan bahkan termasuk pekerjaan berat. tidak mungkin mampu
diselesaikan oleh pihak tertentu saja. Apalagi sampai tuntas, itu tidak
mungkin. Lihat saja sampai saat ini masala itu masih terjadi. Untuk mendapatkan
perubahan ke arah yang lebih baik, tidak mungkin terjadi tanpa tidak ada
keterlibatan semua pihak; pemerintah; aparat keamanan; lembaga sosial/swadaya;
agama dan masyarakat adat. Itulah sebanya, seharunya semua pihak di atas, bukan
menjadikan Miras sebagai komuditas uang (many policy).
Untuk
itu kabupaten lain kiranya bisa mengikuti jejak Kabupaten Manokwari yang telah
mengeluarkan Perda yang melarang peredaran Miras. Perda yang kontroversi di
daerah tersebut ternyata luar biasa. Nyaris tidak ada lagi pemabuk yang
tertidur di pinggir jalan dan aksi pemalakan yang dilakukan pengonsumsi Miras.
Kabarnya, ibu-ibu rumah tangga pun mulai dienakkan dengan Perda tersebut,
kekerasan dalam rumah tangga menurun drastis dan uang belanja yang diterima
dari suami mereka pun bertambah. (Pikiran Rakyat Rabu, 22 Agustus 2007).
Selain
itu Papua membutuhkan orang yang memiliki hati dan otak melahirkan ide
pencerahan dan pemimpin teladan dalam perubahan melalui melaukan proteksi dari
bergagai penyaikit sosial dan budaya dari luar, terutama soal Miras yang masuk
ke Papua dan mengancam etnis dan kultural untuk sebuah perubahan bagi Papua
yang lebih baik tanpa ketertindasan dan kebelengguan dari berbagai penyakit
sosial.
Serta
Papua menantikan orang yang punya hati dan otak untuk melakukan pembinahan yang
bersifat perkembangan otak (intelektual), karakter dan pembinahan hati
menyangkut pembentukan diri pribadi. Basis utama pembinaan ini dimulai dari
keluarga, kemudian disekolah dan gereja dengan begitu ada harapan bagi kemerdekaan
setiap individu (orang Papua) dari berbagai persoalan hidup terutama minuman
keras yang membelenggu, menjadikan orang Papua seperti seolah-olah tidak
berbudaya. Dengan begitu kita telah melakukan pekerjaan besar untuk menentukan
masa depan orang Papua yang lebih baik. Apakah Miras telah mebuat kita
(masyarakat, pemerintah, pegusaha, pihak keamanan) kepala keras atau keras
kepala sehingga terus mebunuh? [TIM
Sorut/Selangkah]
Sumber: Lembaga Pendidikan Papua http://www.lovepapua.com/2009/11/minuman-keras-keras-kepala-di-tanah.html
Tidak ada komentar:
Posting Komentar