Foto Nelson Mandela
Berbicara tentang pendidikan berarti kita berbicara tentang
bagaimana caranya kita memanusiakan manusia. Lebih mendalam lagi pendidikan ada
karena manusia maka semua manusia harus berpendidikan.
Yah, kalau
manusia tidak berpendidikan berarti juga melanggar fungsi pendidikan itu
sendiri. Pendidikan ada karena manusia dan untuk manusia, maka semua manusia
harusnya berpendidikan.
Secara umum
melalui pendidikan mendidik manusia pada tiga rana. Kognitif, Afektif dan
psikomotorik. Kognitif berkaitan dengan pengetahuan. Afektif berkaitan dengan
sikab, moral dll. Sedangkan psikomotirik berkaitan skill.
Suatu sistem
pendidikan dipandang berhasil jika ketiga rana ini berhasil dibentuk pada
peserta didik. Sistem pendidikan di Indonesia dalam kurikulum 2013 mengharuskan
pembelajaran dan penilaian terpadu. Artinya, ketiga rana ini dinilai secara
terpadu. Hal ini merupakan salah satu poin yang membedakan Kurikulum 2013
dengan kurikulum lain sebelumnya.
Bagai mana
dengan sisitem pendidikan yang baik?
Dewasa ini jika
kita amati sistem pendidikan terbaik di dunia dari berbagai sumber. Kita akan
dapati Finlandia menampati urutan satu pendidikan terbaik di dunia. Keisimewaan
sistem pendidikan di negara ini terletak pada penyelenggaraan sistem pendidikan
itu sendiri.
Di Finlandia
jangan anda bermimpi untuk menjadi seorang guru jika kemampuan anda di bawa
rata-rata. Hal ini karena di Negara itu, guru diseleksi dari lulusan
universitas terbaik di seluru Finlandia dan mereka yang masuk 10 besarlah yang
berhak jadi Guru.
Proses seleksi
masuk jurusan keguruan dan seleksi untuk menajdi guru yang begitu ketat membuat
tingkat kesukaran yang ekstra di profesi ini. Hal ini pulah yang membuat guru
sangat dihargai dan dihormati di negara itu.
Selain itu jika
kita di Indonesia jam belajar untuk siswa terus bertambah. Di negara itu,
jam belajarnya mala berkurang. Di sana para siswanya belajar 45 dan
15 menit istirahat. Ya, Siswa SD dan SMP bersekolah hanya 4-5 jam dalam sehari.
Pada Jenjang SMP dan SMA sudah menerapakan sistem pembelajaran seperti kuliah.
Bagaimana dengan
Guru di Finlandia?
Di negara itu
guru dianggap paling tahu dan paham tentang karakter dan tingkat pengetahuan
siswanya, sehingga tidak ada ujian masional dan evaluasi. Ya...tidak ada
intervensi dari pemerintahnya dalam soal merancang kurikulum dan evaluasi.
Pemerintahnya percaya, guru yang lebih paham dan mengerti tentang kurikulum dan
evalusi yang sesuai dengan murud-muridnya.
Guru benar-benar
harus menjadi telandan. Setiap siswa diperbolehkan salah dalam belajar dan
haram bagi guru untuk berkata "Kamu salah" jika ada siswa yang
melakukan kesalahan. Mereka mendidik siswanya untuk mengevaluasi dirinya
sendiri, dengan begitu siswanya paham dan tahu kesalahan dan kekurangannya
sendiri.
Para gurunya
percaya pemberian rangking dan pembentukan hirarki pintar dan bokok dalam
ruangan kelas maupun pembagian kelas serta teguran atas kesalahan siswanya,
hanya akan mempengaruhi psikologi siswanya dalam belajar hal-hal baru.
Bagaiman dengan
sistem pendidikan di Indonesia?
Di Indonesia
guru harus tunduk pada pemerintah. Guru harus berusaha mengejar target-target
yang pemerintah inginkan. Kurikulum dan ujian nasional sebagai bentuk evaluasi
pemerintah atas kinerja pengajaran guru. lebih jauh lagi UN merupakan evaluasi
pengukuran keberhasilan pemerataan dan hasil pencapaina pendidikan itu sendiri.
Asumsi saya
proses ini terkesan pemerintah menuntut Guru, guru menuntut siswa dan orang tua
siswa mengharapkan guru. Ya.. Pemerintah tidak menghargai profesi seorang guru,
guru tidak menghargai sisi humanis siswa itu sendiri dan orang tua melepaskan
tanggungjawabnya kepada guru dan berharap guru melakukan tangungjawab yang
seharusnya menjadi tugas orang tua murid.
Kalau sudah
begini, apa jadinya? Jangan heran jika ada guru yang pusing dan malas mengajar.
Dampak
negatifnya Apa?
Misalnya,
seorang siswa yang pandai dibidang matematika dan fisika dipaksa untuk memenuhi
nilai biologi dan kimia sesuai standar yang diinginkan pemerintah. Ketika anak
itu tidak berhasil mencapai standar itu maka anggapan masyarakat siswa itu
bodok atau tidak mampu karena tidak lulus Ujian Nasioanal (UN). Tidak cukup
sampai di situ, tetapi proses ini tidak jarang berujuang pada siswa itu
Frustasi. Selain itu, orang tua sibuk dengan profesi dan tugasnya sehingga lupa
untuk mendidik anak-anaknya. akhirnya Guru lagi yang menjadi objeknya.
Jangan heran
gan. Di negara ini jika sudah mendekati UN banyak siswa yang stres dan
frustasi. Ingin bukti nyata ? saya sarankan nonton berita di TV saat-saat
menjelang UN. Anda akan mendapat informasi langkapnya. Lebih jauh lagi, jika
anda pernah bersekolah saya rasa anda perna mengalami hal itu.
Sistem UN hanya
akan memelihara budaya korup. Anda akan mendengar tentang kebocoran kunci
jawaban UN di berbagai daerah. Selain itu, anda akan mendengar tentang
terjadinya kecurangan dimana-mana. Dan hasil akhirnya, di negara ini yang lulus
UN lebih banyak dari pada siswa yang Lulus seleksi SMPTN.
Masih asumsi
saya, hal-hal semacam ini membuat siswa berpikir bahwa yang terpenting adalah
lulus ujian dan mendapatkan nilai yang memuaskan. Bukan menciptakan ilmu
pengetahuan atau menganalisis kasus untuk memecahkan masalah dalam kehidupan.
Yah, jangan
heran gan. Beberapa orang yang paham tentang pendidikan (Dosen/ahli) di
Indonesia akan berkata siswa Indonesia kaya dengan budaya menghafal. Menghafal
berarti memuntahkan kembali apa yang sudah ada bukan kreatif, inovatif
dan produktif. Hal ini juga merupakan alasan mendasar mengapa Direktur
Jenderal Pendidikan Menengah Hamid Muhammad meluncurkan kurikulum 2013 atau
yang biasa disingkat KURTILAS beberapa tahun lalu.
Kata
Hamid,kurikulum 2013 juga menguatkan substansi pendidikan. Perbandingan capaian
pendidikan di Indonesia berbeda jauh dengan pendidikan negara lain. Siswa
Indonesia, katanya, baru menguasai level terendah yaitu menghafal. “Kalo
menghafal kita paling jago tetapi kalo sudah menganalisis, memecahkan masalah
dan seterusnya kita itu termasuk kategori yang kurang, oleh karena itu kita
perbaiki,” jelasnya. (kemdikbud.go.id)
Kurtilas
merupakan sarana untuk menciptakan siswa yang bukan hanya kaya akan hafalan
tetapi kreatif, inovatif, dan produktif. Ya, kalau sudah ada kreativitas pasti
akan ada inovasi dan kalau sudah berinovasi hasilnya adalah produktifitas.
Dengan demikian
UN terlalu banyak menekan psikologi siswa Indonesia. Anggapan pemerintah dengan
UN mereka dapat mengevaluasi hasil pencapaian pendidikan dan kekurangan dari
pendidikan itu sendiri, namun pertanyaannya apakah hasil evaluasi itu berasal
dari data UN yang baik dan terukur kebenaranya?
Yang pasti,
hanya gurulah yang lebih paham tentang siswanya di lapangan bukan pemerintah
yang santai dengan kursi sofa. Hal ini sebagaimana di Finlandia, pemerintah
memberi otonomi kepada Guru dan guru memberi otonomi kepada siswa.
Di indonesia
bisa kita lihat, hasil dari sistem pendidikan negara ini sebelumnya yang
mengutamakan rana kogintif melahirkan generasi mudah yang pandai bersembunyi
dan linca bersandiwara meskipun korupsi uang negara. Ketika anda amati hampir
semua orang yang korupsi di negara ini anda akan menemukan meraka adalah
orang-orang berintelektual tinggi dan bahkan di segani di tingkat nasional dan
internasional.
Bagiaman
pendidikan di Papua?
Pendidikan di
Papua sangat komples untuk dibahas. Kompleksi karena pendidikan di Papua bukan
hanya persolan saran dan prasara, letak geografis tetapi juga tentang
masalah kualitas guru dan respon orang tua dalam menyiapkan anak-anaknya
untuk mengenyam pendidikan itu sendiri.
Dalam upaya
mengatasi semua persolan itu, menurut saya ada 3 langkah yang harus kita
tempu.
Pertama orang tua. Hal ini karena dunia pertama yang akan dilalui seorang anak
adalah lingkungan keluarga. Seorang anak akan belajar untuk memperoleh
pengetahuan pertama kali di lingkungan keluarga. Baik mama, bapa, keponakan,
tete (Opa), nenek (OMA) dan lain sebaginya.
Memang benar,
sejak dini seorang anak harus di didik dan dibentuk sedemikian rupa
sampai anak tersebut masuk pada jenjang, PAUD, TK, atau SD. Dan jika peran
orang tua di tahap awal ini berjalan begitu baik dalam menyiapkan anak-anaknya,
maka di sekolah hanya tinggal polesan dan penyesuaian yang di butuhkan anak
tersebut.
Di Papua tahap
ini agak sulit sekali untuk di terapkan. Pasalnya, orang tua akan pasrakan
anaknya ke sekolah. Lagi-lagi, di sini Guru di Papua memegang tanggungjawab
yang lebih berat. Apa yang seharusnya menjadi tanggungjawab orang tua
semuanya dibebankan kepada guru. Belum lagi beban yang di berikan pemerintah
kepada para guru dengan standar-standarnya.
Sederhananya,
orang tua mengharapkan guru dan pemerintah menuntut guru. Pertanyaanya
Guru mana yang tidak stres. "Alhasil memang benar guru merupakan pahlawan
tanpa tanda jasa dan hal itu merupakan sebuah kebenaran yang patut untuk kita
hargai"
Kedua yang harus dilakukan adalah pemerintah harus mengutamakan
kualitas maupun kuantitas guru-guru di Papua. Mengutamakan yang saya maksud di
sini bukan gajinya, tetapi memberi pelatihan yang memadai minimal 1 tahun
dua kali dengan cara membangung kerja sama yang permanen dengan badan-badan
pelatihan yang terpercaya atau membangun kerjasama dengan sekolah-sekolah yang
di pandang baik di luar Papua. Selain itu, bisa juga dengan cara membiayai para
pendidik di Papua hingga ke jenjang Magister.
Selain itu
kesesuan dari poin ini bisa kita lihat dari pendapat Albert Einstein.
Ketiga pengadaan sara dan prasarana untuk tiap jenjang pendidikan
di Papua. Pengadaan sara dan prasarana ini bukan hanya sebatas penyedian dan
pengadaan segala bentuk fasilitas yang secara langsung dan tidak langsung
berpengaruh dalam proses belajar mengajar, baik yang di gunakan guru maupun
siswa, tetapi mencangkup juga pemberlakuan sekolah gratis 12 tahun bagi
generasi mudah Papua. Hal ini memungkinkan terlaksananya pendidikan secara
merata di seluruh Papua.
Hanya dengan
begitu, tidak akan ada ungkapan "Pendidikan di Papua di
khususkan untuk mereka yang beruang". Jika hal ini benar-benar di
terapkan, maka asumsi saya semua generasi mudah di Papua akan berpendidikan,
baik yang orang tuanya berada maupun yang tenengah kebawah.
Pertanyaanya,
apakah pemerintah Papua mampu melakukan ini?
Asumsi saya
sebenarnya pemerintah Papua bisa menerapkan sistem ini untuk memasyarakatkan
pendidikan di Papua. Apa lagi belum lama ini Gubernur Papua Lukan Enembe
prioritaskan bidang pendidikan di Papua.
Selain itu kekayaan
sumber daya alam Papua yang berlimpah dapat dimanfaatkan untuk membuat program
yang menggratiskan biaya sekolah 12 tahun bagi anak-anak Papua. Bukan hanya
sampai di situ, para guru yang menjadi tulang punggung pendidikan di Papua.
Pemerintah harus wajib membiayainya sampai ke jenjang magister.
Setelah kedua
poin di atas di terapakan pemerintah. Selanjutnya pemerintah wajib
memfasilitasi dan menyelenggrakan pelatihan rutin. Jika bisa, dalam setahun dua
kali pelatihan bagi para guru di Papua. Hal ini untuk memperkokoh profesi
mereka sebagai seorang guru yang profesional dalam menerapkan dan menjalankan
pendidikan itu sendiri di Papua.
Penulis : Ayob Tabuni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar