Kisah Asmat, suku titisan dewa yang mendiami bumi Papua. | via: viralspell.com
Bentangan alam dengan pemandangan membius, nuansa tenang di tengah
kukungan pegunungan, serta harmoni ombak yang membuat siapapun enggan beranjak
jadi satu dari sekian banyak hal yang terlintas ketika berbicara tentang Papua.
Namun, pesona pulau yang ada di timur Indonesia ini tak berhenti di Raja Ampat
maupun Jayawijaya saja.
Beberapa
pelancong mungkin berpendapat kalau traveling itu tak melulu soal
berburu eksotisme terkait pemandangan alam. Menyelami kearifan budaya lokal
bisa jadi salah satu agenda wajib demi perjalanan yang lebih berwarna.
Berbicara soal budaya, Papua memang lekat akan citra diri sebagi 'rumah' bagi
suku-suku primitif yang masih mempertahankan adat istiadatnya.
Sebut
saja Asmat. Alkisah, dahulu ada satu Dewa bernama Fumeripitsy turun ke bumi
untuk memulai petualangan. Di tengah perjalanan, sang Dewa harus melawan buaya
raksasa. Meski berhasil mengalahkan buaya tersebut, namun Fumeripitsy terluka
parah dan terdampar di tepian sungai. Di situlah, ia bertemu dengan burung
Flamingo yang merawat sang Dewa hingga pulih dari lukanya.
Setelahnya,
sang Dewa tinggal di wilayah tersebut dan membuat rumah dengan dua patung
ukiran yang begitu indah. Juga, sebuah genderang dengan suara nyaring yang
mengiringi tariannya. Gerakan luar biasa dari sang Dewa membuat kedua patung
ukiran tadi jadi hidup. Keduanya dipercaya sebagai pasangan manusia pertama yang
jadi nenek moyang suku Asmat.
Mitologi
itu hingga sekarang (dan mungkin sampai nanti) dipercaya oleh suku yang
bermukim di pesisir pantai dan
pedalaman. Berangkat dari kepercayaan itu, suku Asmat percaya kalau mereka
adalah manusia titisan Dewa. Salah satu suku terbesar di Papua ini sudah
tersohor hingga ke mancanegara. Buktinya, sudah banyak peneliti yang berkunjung
untuk mempelajari kehidupan, sistem kepercayaan, serta adat istiadat yang
dipegang teguh oleh suku Asmat.
Penulis : Ayob Tabuni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar