Rabu, 25 Oktober 2017

Budaya, Modernitas, dan Ingatan Orang Papua


Tarian Suang,Ragamseni.com
Tarian Suangg, ragamseni.com

Cheap Offers: http://bit.ly/gadgets_cheap


“Karena Budaya Tempat Batin Berasal”

Berbincang tentang isu budaya hari ini mungkin lebih banyak memunculkan rasa pesimis daripada simpati. Ada yang melihat budaya secara sinis. Sinisme-sinisme terhadap budaya kebanyakan melekat pada persepsi generasi baru (Generasi Y/milenium), khususnya, mereka yang relatif jauh jaraknya dari era munculnya peradaban budaya. Ruang dan waktu yang praktis berubah, mempengaruhi perilaku daripada setiap generasi untuk menginterpretasikan budaya. Kandungan nilai sedikit lebih luntur dibanding generasi terdahulu. Isu budaya agak dikhawatirkan meredup, ketika nantinya tidak lagi menjadi perbincangan menarik, atau bahkan lepas dari perhatian wacana sosial (civil disscourse). Sentralitas Budaya dalam Pembangunan Sebagai bagian dari peradaban, budaya dipandang sentral sebagai sumber nilai, norma, adat, tradisi suatu bangsa. Muncul pertanyaan, dimana letak budaya dalam pembangunan? Bilamana suatu pembangunan berjalan sendiri tanpa ada titik kompromi dengan kemapanan budaya, berangsur-angsur akan terjadi disorientasi. Laporan UNESCO dalam Global report on Culture for Sustainable Urban Development, merupakan rumusan pembangunan berkelanjutan yang mana secara inklusif meletakan budaya sebagai bagian sentral dari perkembangan masa depan. “Culture lies at the heart of urban renewal and innovation” (UNESCO dalam Culture Urban Future, 2016). Persepsi dalam konsep pembangunan urban (kota) secara berkelanjutan, dipandang tidak lepas secara parsial dengan apa yang disebut budaya. Dengan kesimpulan, bahwa mengimajinasikan pembangunan di masa depan mesti disandingkan dengan kapasitas cultural knowledge. “The power of culture as a strategic asset for creating cities that are more inclusive, creative and sustainable. Creativity and cultural diversity have been the key drivers of urban success”. (UNESCO, 2016). Budaya diyakini sebagai harapan atau kekuatan untuk menjawab segala resiko dan tantangan pembangunan di masa depan. Karena dalam budaya melekat karakteristik sosial masyarakat, nilai-nilai kreativitas, sudah semestinya budaya dijadikan sistem sumber untuk mengklasifikasi potensi pembangunan untuk menjawab pemenuhan kebutuhan masyarakat. Membuka lembaran masa lalu, membangun keintiman dengan budaya merupakan niat baik untuk menjawab pembangunan di masa depan. Walaupun tidak ada yang dapat membayangkan apa yang akan terjadi di masa depan, namun kewajiban mengenal masa lalu (budaya) adalah suatu kebutuhan. Karena itu, dasar-dasar filosofi budaya menjadi kekayaan yang wajib diketahui, dianalisa untuk kemudian dipahami secara utuh dalam menjawab pertanyaan, bagaimana dan mau dibawa kemana pembangunan itu. Konten-konten lokal memiliki kapasitas yang mesti diperlakukan secara mapan, harus diejawantahkan. Pembangunan yang kehilangan sentuhan budaya dan tidak mengkompromikan inklusivitas budaya akan perlahan menutup jalan pembangunan itu sendiri. Proteksi dalam arus liberalisasi menjadi centered of attention bagi orang Papua, dalam usaha memelihara tradisi kebudayaan. Sebab, kenyataan globalisasi seakan tidak melepas budaya bebas berekspresi dalam orisinalitasnya. Tanpa proteksi, budaya berangsur kehilangan esensinya ditengah peradaban masyarakat. Ketersingkiran ini menjadikan kehidupan sosial dan tradisi menjadi terabaikan dalam identitas bangsa. Memikirkan kembali kata Penyair Belanda Lucebert “semua yang berharga tidak mampu bertahan”. Kurang lebih, argumentasi itu menegaskan bahwa kekekalan tentang sesuatu yang baik adalah hal yang sulit untuk dijaga. Dalam memaknai budaya, poin kritisnya adalah “sebagian besar penduduk di muka bumi masih tetap bertahan melalui aktivitas-aktivitas lokal berbasis komunitas, itu sebenarnya karena mereka sebagai manusia masih mampu mengendalikan secara sadar budaya yang dimiliki dengan tujuan tidak ada penguasa lain (kendali asing). Budaya di Tengah Perubahan Tempora Mutantur et nos mutamur illis (waktu berubah dan kita ikut berubah di dalamnya). Tak ada yang pasti (abadi), karena yang pasti adalah perubahan. Perubahan tampil dengan sangat lentur, dinamis, cair, mengisi ruang-ruang kosong. Mengalir mencari tempatnya, melahirkan kebaruan, keterbukan, ketersingkiran, alienasi hingga wacana. Laju dari suatu perubahan dikhawatirkan merombak identitas, orisinalitas cultures (budaya), termasuk pola pikir (mindset/cara pandang) manusia. Mengenai budaya di tengah perubahan, memunculkan tanda tanya, apakah budaya mampu bertahan? Budaya masih dipandang sebagai kebutuhan? Budaya semakin kesini, semakin mendapat sindiran, sinisme-sinisme ganjil, terutama dari sudut pandang generasi milenial (Y). Hampir sebagian kecil saja yang masih mempedulikan budaya, memiliki niat mempopulerkan kembali budayanya. Masih ada banyak tanda tanya, yang mesti dijawab. Perubahan yang lepas kendali kadang membawa konsekuensi yang tidak semestinya, karena perubahan kadang membawa fragmentasi maupun disorientasi. Dari kekhawatiran itu, dikaji dari sudut pandang perubahan, keberadaan atau kedudukan budaya apakah masih duduk pada tempatnya (tidak kehilangan nilai, norma? Sederhananya, alur pikiran yang bisa menuju kesana adalah budaya itu ada dalam arus, dan tanpa pijakan yang kuat, sudah pasti akan terbawa arus modernisasi atau bahkan post-modernisasi. Kesimpulannya, budaya itu tidak berubah dan bertahan pada identitasnya, namun zaman terus membawa perubahan. Pertentangan-pertentangan wacana atau benturan-benturan perubahan, secara bertubi-tubi dapat menciptakan fragmentasi. Bahkan nanti, generasi mendatang semakin amnesia dan lupa budaya karena tidak disuap generasi sekarang. Akhirnya, budaya hanya menjadi dongeng, untuk mengusir keringat di kala anak-anak tidur. Review buku Papua versus Papua (I Ngurah Suryawan, 2017) Buku karya Suryawan, berbasiskan pada analisa antropologi[1] (sesuai basic keilmuwannya). Secara garis besar, menarasikan wacana-wacana fragmentasi budaya di tengah peradaban masyarakat Papua. Isu-isu yang bahas memuat unsur aktual, kontemporer dengan analisis-analisis yang cukup tajam. Pembedahan fenomena berlandaskan pada konsep emansipatoris dan transformatif (menempatkan orang Papua sebagai subjek/aktor atas budayanya sendiri di tengah arus perubahan). Dikatakan juga, bahwa makna emansipasi sebagai cara persuasif, mengajak orang Papua untuk sadar dan bukan sebagai penonton di tanah sendiri. Mengutip kata pengantar Imanuel Kaisiepo dalam bukunya, “orientasi dari kajian antropologi di tanah Papua yang dilakukan sangat diharapkan dapat melahirkan model etnografi[2] yang Papuasentris. Gaya, sudut pandang etnografi yang memang milik orang Papua sendiri, sebagaimana menjadi tuan atas budaya dan sejarahnya. Budaya Post-Kolonial Dalam pengantar buku ini, sedikit disinggung soal superioritas penjajah atas wacana-wacana budaya (cultural disscourse). Edward Said memandang kajian orientalisme[3] terbentuk atau tidak lepas dari wacana dominasi kolonial. Superioritas kebudayaan barat (koloni) atas inferioritas kebudayaan Timur (jajahan), dikenal sebagai “hegemoni kultural” (Kaisiepo, 2017).[4] Kekhawatiran itu berlanjut, pasca kolonial, dengan anggapan bahwa bias-bias kultur penjajahan masih melekat atau mempengaruhi cara pandang masyarakat Papua, dan Indonesia pada umumnya. Orientasi kajian antropologi berupaya mengarah pada usaha untuk melepaskan diri dari belenggu Eurosentrisme (pemikiran yang terbelenggu)-the captive mind. Gayatri Spivak mengatakan usaha perlawanan itu sebagai gerakan subaltern, menekankan pada kemungkinan-kemungkinan atas kesadaran (counter knowledge), dari masyarakat yang pernah dijajah, dan tak berdaya untuk bersuara, untuk kembali bersuara. Tugas saat ini adalah menciptakan usaha melawan bias-bias Eurosentrisme (diciptakan kolonial) agar jangan sampai merombak eksistensi kebudayaan, tradisi, dan kearifan lokal. Meski episode penjajahan sudah menjadi masa lalu, namun bias transformasi sosial masih tetap berlangsung. Integrasi dan solidaritas yang dibangun dari kebudayaan kini semakin kalah populer dengan wacana-wacana besar perubahan. Kondisi ini yang saat ini sedang menerjang Papua. Kekalahan wacana budaya membuat masyarakat Papua berangsur-angsur kehilangan jati diri, identitas dan martabat. Sudut pandang Ilmiah Di tengah situasi hari ini, usaha membangunkan budaya, dapat dilakukan dengan pendekatan reproduksi (membangkitkan/menghasilkan kembali), pengetahuan yaitu berbasis metodologi, perspektif, dan teori untuk menginterpretasi, memahami, mengartikulasikan fenomena sosial di tengah kehidupan masyarakat Papua. Pembauran ilmiah dan akademis menjadi jalan masuk untuk mengamati masyarakat yang kini sedang berubah. Keilmuwan, yang disebut secara spesifik dalam buku ini adalah kerja-kerja disiplin humaniora, sebagai gerakan pelibatan total dalam perubahan sosial.[5] Tawaran gagasan yang coba dikemukakan Suryawan, berdasar pada pendekatan etnografi dalam keilmuan antropologi. Usaha untuk melepaskan diri dari belenggu kuasa kolonialistik yang mempersepsikan wilayah Timur sebagai masyarakat asing dan terbelakang. Perlu pendekatan untuk membongkar kuasa dan stigma masa lalu, dan Papua harus lepas dari kuasa pengetahuan, yang menjajah nilai-nilai kebudayaannya, sebagai faktor penentu kemandirian dan kesadaran menuju pembangunan Papuasentris. Papua dipandang sebagai wilayah interkoneksi, terbuka terhadap segala bentuk mobilitas, sehingga ruang-ruang privat orang Papua begitu mudah terkoneksi dengan keberagaman budaya dari luar. Sedikit Mengulas Sejarah Terlepas dari konsekuensi interkoneksi, masih ada yang lebih fundamental mengenai guncangan dalam ingatan Orang Papua tentang sejarah kekerasan dan penderitaan (memoria pasionis) sampai hari ini menjadi ingatan yang hidup dalam keseharian masyarakat dalam mendefinisikan diri dan kebudayaannya itu (Suryawan, 2017). Konstruksi sejarah kepada Papua dinilai penuh diskriminatif. Catatan sejarah negara, selalu mengalahkan rakyat Papua, dan seakan-akan orang Papua tidak memiliki sejarah, selain ingatan-ingatan masa lalu yang penuh penderitaan sebagai bagian dan memori kolektif orang Papua. Dokumen sejarah selama ini lebih dominan kepentingan penguasa dan merepresentasikan kehendak kuasa, tanpa sekali memikirkan ingatan sosial dan pengalaman masyarakat Papua. Dokumen sejarah yang diproduksi akhirnya bersifat nir-emansipasi. Dokumen sejarah itu tidak jauh, artinya ada di kitorang pu bapak-bapak di kampung sana (Suryawan, 2017). Akhir kata, masih banyak kekurangan disana-sini, tulisan singkat ini belum seutuhnya memaparkan kondisi, pengalaman, dan ingatan orang Papua. Melalui diskusi, semoga mendapat banyak pandangan-pandangan konstruktif. Diskusi menjadi momen yang selalu dirindukan. Mari kitorang, basudara, berbincang budaya, karena tanpa budaya, kita hanya menjadi manusia-manusia gagal. Jangan sampai kalah wacana dan hidup dalam wacana orang lain. Singkat kata, jangan torang nyaman dalam ketidaknyaman, dan bebas dalam ketidakbebasan. *Everd Scor Rider Daniel (Mahasiswa Pascasarjana Universitas Padjadjaran Bandung. Kolumnis opini dan sastra di beberapa media nasional dan lokal). [1] Antropologi (KBBI): Ilmu tentang manusia, khususnya tentang asal-usul, aneka warna bentuk fisik, adat istiadat, dan kepercayaannya pada masa lampau; [2] Etnografi (KBBI): Deskripsi tentang kebudayaan suku-suku bangsa yang hidup; ilmu tentang pelukisan kebudayaan suku-suku bangsa yang tersebar di muka bumi; [3] Kata Dasar Oriental (KBBI): mengenai dunia timur atau negara-negara Timur (dilihat dari Eropa) [4] I Ngurah Suryawan, “Papua versus Papua”, halaman 6.      
      
                   Sumber : http://www.sastrapapua.com


Ayob Inubat
Ayob Inubat

This is a short biography of the post author. Maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec vitae sapien ut libero venenatis faucibus nullam quis ante maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec.

Tidak ada komentar: