![]() |
Ilustrasi - Google (ist.) |
Papua itu unik
dan kaya. Kaya akan suku-bangsa, sosial-budaya, sumber daya
alamnya, kaya akan keindahan alam laut dan gunungnya yang tidak ada duanya,
sehingga disebut “surga kecil yang jatuh ke bumi” yang patut
disyukuri. Namun di balik keindahan dan kekayaannya itu, ada saja
ulah-ulah yang merusak dan mengancam kelestarian alam dan budaya Papua,
terutama tindakan-tindakan dari Orang Asli Papua (OAP). Berikut adalah
tindakan-tindakan OAPyang mengancam alam dan budaya Papua, yang
penulis uraikan:
1. Akankah
Anak Cucu akan Melihat Cenderawasih di Bumi Papua?

Ilustrasi - DestinAsian
Papua adalah
salah satu pulau yang unik dan kaya, karena satu-satunya pulau
yang memiliki dua “surga kecil” di bumi. Apa kedua surga yang dimiliki
oleh Papua itu?
Surga
kecil yang pertama adalah Papua disebut surga kecil yang jatuh
ke bumi karena keindahan dan kekayaan alamnya yang melimpah. Surga
kecil kedua yang ada di pulau paling Timur Indonesia ini adalah
karena memiliki“Burung Surga” (Cenderawasih), sehingga Papua memiliki
dua surga kecil di bumi. Namun sayangnya, surga kecil yang kedua menuju
ambang kepunahan karena maraknya perdagangan dan perburuan liar
burung Cenderawasih.
Data WWF
Papua yang dilansir melalui laman compas.com menyebutkan, pada
tahun 1900-1930an, penjualanCenderawasih mencapai 10.000-30.000 ekor
per tahun. Sedangkan, Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Papua
pada maret 2012 menyebutkan, dalam satu lokasi konservasi ditemukan
antara 2-3 ekor burung Cenderawasih per kilometer persegi, yang menurun dari
tahun 2000-2015 ditemukan 10-15 ekor setiap kilometer persegi. Hingga saat
ini, jumlah burung Cenderawasih semakin menurun karena maraknya
perdagangan dan perburuan liar.
Akankah
anak cucu akan melihat langsung bagaimana rupa indahnya yang
menawan? Akankah anak cucu akan melihat tarian Cenderawasih jantan menarik
perhatian wanita secara langsung? Ataukah anak cucu akan melihat dalam
cerita dan kisah-kisah yang akan kita tinggalkan nanti?
Maka, bagi
OAP yang memperdagangkan burung surga, berhentilah berburu dan
menjual-belikan Cenderawasih.Biarkan dia hidup di alamnya sendiri.
2. Jangan
Mewariskan Air Mata, tapi Mata Air Kepada Anak Cucu
![]() |
Ilustrasi - Google (ist.) |
“Tanah Papua, hutan Papua, dan alam Papua diberikan
oleh Tuhan kepada orang Papua, kepada orang-orang yang berambut keriting
dan berkulit hitam, supaya mereka hidup di atas tanah mereka,
memanfaatkan hutan mereka dan mewariskannya kepada anak cucu mereka.”
Namun, kini
untaian kata di atas hampir menjadi sebuah rangkaian kata saja. Banyak
tanah dan hutan di Papua kini dijual hanya untuk kepuasan sesaat. Sebagian
besar hutan dan tanah di Papua perlahan-lahan bergeser kepemilikannya.
Dulu milik kita, sekarang menjadi milik mereka dan mungkin nanti, kita
akan membelinya dari mereka yang dulunya pernah milik kita, karena
kegiatan menjual tanah di Papua marak terjadi. Maka, OAPberhentilah
menjual tanah dan hutan, karena hutan dan tanah bukan hanya milik kita,
tapi milik anak-cucu yang akan datang. Jangan
sampai kita wariskan air mata kepada anak cucu.
3. Jangan
Terus Bermimpi Menjadi PNS, Belajarlah Sedikit Berwirausaha
![]() |
Ilustrasi - Google (ist.) |
Sebagian
besar OAP kini bekerja sebagai Pegawai Negeri
Sipil (PNS) dan sebagian besar pula anak-anak Papua yang sudah
lulus kuliah kini meganggur karena hanya menunggu pembukaan
pendaftaran Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) dari pemerintah.
Padahal, suatu bangsa atau negara dikatakan maju apabila minimal 2%
dari total jumlah penduduknya berprofesi sebagai wirausaha. Andaikan
jumlah penduduk asli Papua kini 2 juta jiwa, maka dibutuhkan
minimal 40 ribu wirausahawan Papua atau setara 1000 Wirausaha setiap
kabupaten, jika dibagi rata.
Maka, bagi anak asli
Papua yang masih studi, berhentilah terus bermimpi menjadi
PNS. Belajarlah sedikit menjadi wirausaha, karena jika semakin
banyak OAP bergelut di bidang kewirausahaan, semakin besar
pula peluang OAP mengelolah SDA Papua.
4. Belajarlah dari
Burung Bangau, Setinggi-tinggi Dia Terbang, Hinggapnya Pasti di Kekubangan

“Setinggi-tingginya bangau terbang, hinggapnya pasti
di kekubangan”
Mungkin pepatah
di atas secara tidak langsung menasehatkan
kepada OAP, khususnya yang merantau ataumenuntut ilmu di luar
Papua bahwa ke manapun merantau, harus pulang ke kampung halaman,
karena tidak sedikit juga OAP yang merantau dan kemudian tidak pernah pulang.
5. OAP
Jangan Melupakan Nasehat Ayah Pertama, Walaupun Kini Bersama Ayah Kedua
![]() |
Ottow - Geissler "Dengan Nama Tuhan, Kami Injak Tanah Ini" - Ist. |
Papua itu
bagaikan anak tunggal dari dua ayah yang berbeda. Ayah pertama
Papua itu orangnya tinggi dan besar.Dia menghabiskan waktu bertahun-tahun
dalam perjalanan untuk menyelamatkan anaknya yang menuju maut. Dia
pertama kali menginjakkan kaki di sebuah pulau kecil yang
bernama Mansinam di Manokwari pada 5 Februari 1855 dengan
mengucapkan doa sulung “Dengan
Nama Tuhan, Kami Menginjak Tanah Ini”. Itulah doa dari
sang ayah pertama ketika bertemu dengan anaknya.
Setelah
berjalan beberapa tahun, sang ayah kedua datang dengan
alih-alih dan mengaku, Papua adalah anak bungsunya dan mengusir
sang ayah pertama. Ketika itu, Papua yang masih
kecil dan terpaksa diadopsi oleh sang ayah kedua secara terpaksa
hingga saat ini. Papua dibesarkan dalam rumah tangga yang penuh kekerasan oleh
ayah kedua. Namun, kini sang anak mulai sadar, bahwa dia
mempunyai ayah pertama, dan mulai teringat nasehat ayah pertama.
Bagi OAP, berhentilah
melupakan nasehat ayah pertama, karena nasehat ayah
pertama itu adalah Injil yang hidup. Maka, kini OAP bisa
memimpin dirinya sendiri, jika berdiri di atas Injil.
Itulah 5
hal yang penulis uraikan dan harus dihentikan OAP. Semoga
artikel ini bermanfaat bagi pembaca sekalian.
Penulis adalah Mahasiswa Papua di Malang
Tidak ada komentar:
Posting Komentar