Rabu, 07 Desember 2016

Sejarah Injil Masuk di Lemba Balim,Papua


 Sejarah Injil Masuk di Lemba Balim, Papua

Lorens Resi Purek, OFM :Peluncuran dan bedah buku Sejarah Gereja Katolik di Lembah Balim.

Wa…Wa...wa...itulah  ungkapan khas dari Lembah Balim, tempat buku ini disusun yang saat ini akan dibedah. Kami senang karena semua sudah datang untuk berdiskusi dalam acara ini, peluncuran buku sejarah gereja katolik. Trimakasih atas plihan dan kesediaan menggunakan tempat ini sebagai pembedah buku.
Tutur Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura P.Dr. Neles Tebay,Pr dalam kegiatan peluncuran dan pembedaan buku Sejarah Gereja katolik di Lembah Baliem Papua karya PATER FRANS LIESHOUT OFM Rabu 14 April 2010 di Aula St. Yoseph STFT Fajar Timur Abepura Papua. Moderator yang mengawasi jalan kegiatan ilmiah ini adalah Drs.Abdon Bisei M.Hum dengan pembedah I Pater Frans Lieshout OFM dan pembedah II Pater Wilhelmus Gonsalit Saur OFM. Hadir dalam kegiatan ini wakil dari pemerintah Propinsi Papua ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alua, segenap masyarakat Balim yang berada di Kota Jayapura, pengurus OMK dari beberapa paroki di kota Jayapura, suster DSY dan para dosen beserta segenap mahasiswa STFT Fajar Timur.
Menurut P. Dr. Neles Tebay, Pr  Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur  sebagai lembaga pendidikan diharapkan punya banyak kegaitan ilmiah. Saya melihat bahwa apa yang akan kita diskusikan ini sangat bermakana, karena penulisnya adalah pelaku sejarah Punya arti bagi perkembangan Gereja di Lembah Balim. Pater Frans adalah pelaku yang mengukir sejarah itu. Apa yang ditulis tidak terlepas dari pengalamannya sebagai pelaku sejarah. Apa yang dia buat dan lihat itulah yang ditulisnya. Sejarah  Gereja katolik yang disusun itu adalah sejarah misi. Bgaimana Kristus diwartakan di Lembah Balim. Misionaris datang tidak membawah Alllah ke Papua tetapi ditarik oleh Allah yang dihidupi dan dipahami oleh orang Papua.  Bagaimana Allah hadir dan berkarya dalam budaya setempat. Dalam budaya Balim ada nilai unggul sebagaimana ada dalam benih benih Injil. Ini menjadi indicator bahwa di Papua ada juga nilai-nilai unggul.
Pastor Frans Lieshout, OFM cukup rendah hati dan adaptasi dengan umat, maka ia menemukan nilai-nilai itu. Hal itu bahwa dalam suku-sua lain juga ada nilai unggul. Ini juga bisa menjadi bahan belajar untuk mashasiswa dan para pastor. Kita ditantang untuk mendengarkan  sambil belajar budaya masyarakat setempat. Dengar apa yang mereka katakan dan apa yang ada di balikya. Ini adalah tantangan bagi kita. Bagi para pastor orang Papua, hal ini menjadi modal dasar bagi anda kalian melihat nilai unggul dalam budaya kita maisng-masing sebagaimana yang dituangkan buku ini. Penting  bagi kita untuk diketahui bersama bahwa dalam setiap budaya Papua ada nialai-nilai unggul. Sejarah Gereja Katolik, maka perspektif misionaris juga masuk. Kalau oleh soerang Balim pasti perspektifnya juga berbeda. Mereka akan bertanya bagaimana reaksi kami? Dengan hal ini menjadi tantangan bagi teman-teman dari Balim untuk bagaimana memberi respon terhadap sejarah perkembangan Gereja di Lembah Balim. Kita punya 2 perpspektif sejarah,menurut siapa? Terima kasih untuk Pastor Frans sudah menulis sebagai ungkapan rasa cinta terhadap umat Balim. Lebih jauh itu menjadi bentuk ungkapan cinta Pater untuk kita semua.
BEDAH BUKU
Diawali dengan pembacaan Curicum Vitae yang dituangkan dalam buku oleh moderator; Drs. Abdon Bisei M.Hum. Menurutnya   baca buku sejarah dapat ditinjau dari dua sisi yaitu;   Pertama titik ideologi, untuk kepentingan siapa buku ini ditulis?
Penerimaan akan apa yang terjadi. Ketika dibaca bisa saja mendatangkan kesenangan dan jengkel, tetapi bagaimana bisa dipikirikan untuk masa depan.
Kedua, ditulis oleh mereka yang menang perang, tetapi kita lupa bahwa butuh budak untuk mengelilingi.
Ketika membaca buku pater Frans, pada halaman 127 diuraikan bahwa satu orang yang melawan pemerintah &an Gereja, dibunuh,  oleh pater ditulis sebagai Pahlawan. Fransiskus berpesan kepada para  pengikutnya bahwa kita pergi untuk temukan Allah dalam pewartaan dan tinggal dengan mereka. Pater Frans Lieshaout,OFM mengawali pembicaraanya dengan mengucapkan terima kasih kepada  Pater Dr. Neles Tebay, Pr, para pembesar yang hadir dan calon-calon pastor  atas waktu dan kesempatan untuk memperkenalkan buku ini. Buku ini cukup tebal dan hurufnya besar. Ada 2 judul: ..” dan simbol. Penulisnya seorang pastor, OFM ungkapan kebanggaan sebagai aggota fransiskan. Menurutnya sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun buku ini adalah laporan arsip di keuskupan Jayapura, pengalaman senidri, dokumen para misionaris lainnya dan bantuan banyak pihak.
 Menurut P. Frans Lieshout,OFM buku ini ditulis pertama-tama  karena banyak orang Balim   yang berkeinginan untuk mengetahui tentang sejarah awal mula perkembangan Gereja di Lembah Balim. Sejarah keselamatan masyarakat itu sangat manusiawi. P.Frans Lieshout,OFM mengharapkan bahwa   suatu ketika akan ada juga putra daerah menulis sejarah yang sama dari perspektif masyarakat. Dan mudahan memperbaiki bahasa sesuai bahasa Indonesia. Tahun 2000, arsip menjadi kurus, tidak ada lagi laporan dari pastor-pastor. Di jaman HP yang beredar begitu laris  tidak ada lagi yang berniat untuk mencatat.
Isi buku sejarah Gereja di Balim: Sejarah dilihat dalam konteksnya, lebih dahulu diuraikan soal berbagai ekspedisi yang dilakukan di Lembah Balim. Ekspedisi dengan  arogan untuk merubah nama gunung, kita beri nama yang sama Puncak Trikora, seakan-akan masyaakat tidak punya nama asli untuk itu. Diuraikan juga mengenai kecelakaan pesawat, dan sejak saat itu terjadi suatu lomba dari pemerintah dan Gereja untuk biar masuk di Lembah agung itu. CAMA (Christian and Missionary Alliance) yang pertama kali masuk. Katolik pada 1958 oleh Patr Arie Blokdijk, OFM yang sebelumnya bertugas di Kerom dan berjalan kaki ke Lembah Balim lewat kampung Molof dan selanjutnya ke Membramo. Namun ia tidak sampai di Lembah Balim karena perahu yang dibeli dari masyarakat untuk perjalanan mereka hanyut terbawa banjir. Akhirnya P. Kammerer, OFM bersama guru Martinus Songgonau, Yonas Mote dan tuju pembantu lainnya berangkat dari Enarotali/Kugapa ke arah timur. 
Pada tanggal 5 Januari 1954 mereka tiba di sungai Yugume (Balim Timur). Mereka sampai di sini saja dan tidak melanjutkan perjalanannya karena para pengantarnya tidak sanggup lagi untuk jalan serta takut dibunuh oleh orang Dani. Pater Arie Blokdijk,OFM akhirnya berhasil masuk ke Balim dan mendapat sebuh tenda sekutu. Berbeda, biasanya diperlihatkan pastor datang dengan salib, jubah, karena Tuhan mencipatkan manusia, suku-suku dengan bahasanya sendiri-sendri. Orang harus mulai dengar dan lihat. Menurut kepala suku Kurulu ( salah satu kepala suku di Balim ), Ia mengambil air dan memberi minum kepada misionaris itu sebagai ungkapan bahwa kamu harus minum, kamu harus terima dari kami dulu. Baru kamu omong apa yang kau mau ceritakan perihal pewartaan yang kamu bawa.
Orang Balim, bisa buat kesalahan besar, tetapi mereka bisa mengampuni. Setelah semua itu, dapat dibuka pos misi, diusahakan menjadi shabat seorang kepala suku. Di situ mulailah Gereja dengan kehadirannya mampu untuk belajar bahasa setempat. melihat orang-orang setempat dan mulai membuat pelayanan sederhana; misalya, melalui pengobatan. Dalam perkembangannya satu setengah tahun kemudian, dimulai dengan pendidian formal.
Ini menjadi suatu pendekatan khas gereja Katolik di mana-mana. Dengan demikian masyarakt mau maju maka pendidikan formal adalah hal mutlak. Dibukalah kursus pertanian, kursus katekis, dengan sangat sederhana,tuhkan tetapi dengan semangat besar, aka mulailah pewarataan, walaupun waktu itu tidak ada kuliah. Dibutuhkan kreatifitas yang besar.
Tahun 1970, mulai berkembang semangat masyarakat untuk  menyadari kehadiran Greja muda itu. Ada kesadaran yang timbul bahwa gereja menjadi milik mereka sendiri. Kita adalah Gereja. Dan ini cocok dengan kepribadian orang Balim yang suka mandiri. Di kelompok pewrata/Pembina Umat, ada 9 paroki setiap paroki mempuna cerita dan kesan awal tersediri. Dibentuklah Badan Musawarah Paroki, sehingga orang yang sudah dibaptis juga bisa menjadi anggora BM. Hal  ini sangat membantun masyaraakt, untuk menyatukan Injil dengan program hari-hari perdausaraan: dialog antara adat dan Injil. Hasil yang dirasakan adalah  semakin berkembangnya gereja hingga sekarang.
Hal yang istimewa aldalah meskipun uskup dulu melarang untuk membuka pos di daerah protestan, tetapi tanpa usaha dari misioanris terjadilah bahwa daerah Ilugua, Gume-Tiom, Kurima, Saminage, dibuka oleh Roh Kudus melalui kepala suku.  Sebagaimana  dengan subj udul yang diuraikan oleh P.Frans Lieshout,OFM; Bilamana benih injil ditaburkan di sembagaran tempat, tanpa menghiraukan budaya Balim, maka sama dengan menarburkan benih di semak berduri. Siapa saja yang bertugas di Balim tidak mungkin mengabaikan budaya masyarakat. Menurutnya kebudayaan adalah kekayaan spiritual. Katolik bertitik tolak dari pandangan bahwa sebelum Injil masuk sudah ada bekas kaki Allah. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Yesus bahwa Ia tidak datang untuk meniadakan nilai budaya melainkan untuk menyempurnakannya.
Ada pengalaman indah yang dikisahkan. Waktu ekspedesi Lorenzt, dengan ratusan orang jalan kaki dari Asmat menuju ke Pegunungangan. Mereka khawatir kalau bertemu dengan orang-orang jahat. Mereka membawa pasukan untuk mengawal perjalanan ini. Setelah mereka tiba dan berhadapan dengan orang pegungugnan. Mereka telanjang, hitam, dan militerpun siaga. Justru apa yang terjadi orang gunung datang dan jabat tangan. Anggota ekspedisi heran karena disalami. Orang primitif justru tidak berhati jahat. Dihidangkan juga daging babi. Kepala ekspedisi diminta untuk membagi, tapi dia cicipi dulu. Akhirnya, ditegur karena harus membagi kepada teman serombongan. Setelah tinggal beberapa lama bersama masyarakat setempat, mereka menemukan bahwa orang pegunungan punya teknologi pertanian. Mereka lebih heran lagi. Karl Muhler juga menuturkan bahwa dulu orang Papua boleh merasa berbangga, karena sudah ada pertanian di sana. Ada rasa kagum yang mendalam. Rasa kagum itu, terus dipupuk. Dunia luar banyak belajar dari pegunungan ini. Rugi kalau hilang Program gereja dan pemerintah, kurang memperhitungkan kearifan budaya lokal ini.
Ada kesenjangan yang nampak yaitu sekarang perhatian gereja keuskupan lebih difokuskan pada OMK, padahal  orang tua juga dirasa penting.  Karena seakan-akaan pohon yang dipotong dari akar. Ada konflik yang nampak antara gereja Katolik dan Jayawijaya. Tahun 1970 pemerintah menginstruksikan untuk melepaskan budaya dan dilepaskan oleh masyarakat. Gereja Katolik protes akan hal demikian, sehingga pemerintah provinsi juga melibatkan diri.
P.Frans Lieshout,OFM mengangkat contoh yang menonjol adalah tantangan poligami. Menurutnya setelah 50 tahun penginjilan poligami tidak berkurang berarti. 30% bapak keluarga  Balim poligami, ibu -ibu 50% hidup dalam poligami. Perintah Yesus untuk membaptis, kecuali yang 40% poigami. Sekarang ini 25%  yang sudah dibaptis poligami lagi. Berdasarkan aturan Gereja mereka tidak boleh dibaptis dan komuni lagi. Timbul pertanyaan apakah ada perintah Yesus yang melarang orang-orang yang poligami untuk tidak dibaptis?
Tahun-tahun terakhir, ada gejala yang sangat berpengaruh yatiu, sekarang tidak ada pastor awam lagi. Jadi pelayanan pastoral hanya dijalankan oleh seorang imam. Akibatnya ada 9 paroki di dekenat Jawawijaya, 6 paroki tidak mempunyai  pastor. Pelayanan juga hanya difokuskan pada sakramental, sekarang hampir separoh umat katolik yang belum dibaptis, tidak mendapat pelayanan lagi. Orang Muda Katolik  dirangkul dan orang tua dianaktirikan. Defakto inkulturasi: studi budaya dan bahasa hampir tidak  lagi dihidupi. Ini tidak terjadi lagi.
Pastor GONZA: Kesan pertama pater frans sangat mengesankan. Bahasa sebagai jalan memahami pikiran masyarakat setempat. Waktu membaca buku ini saya merasa senang, karena bisa membaca dan bisa melihat. melihat teks....Kita tahu sejarah dan  selanjutnya  bisa membuat apa dengan Gereja ke depan. Ini membutuhkan kerja keras dan melahirkan banyak penderitaan karena tidak bisa  harus ditulis. 
Kekuatan misioanaris mereka adalah pola pendekatan mereka. Pendekatan inkulturatif sangat menentukan pelayanan. Bahasa adalah tantangan dan tuntutan yang harus dipenuhi dan dikuasai. Pembaptisan baru dilakukan setelah 4-5 tahun. Mereka bina dulu baru baptis. 
P.Frans Liesthout memberi judl buku tersebut: SEJARAH GEREJA KATOLIK DI LEMBAH BALIM- PAPUA: KEBUDAYAAN BALIM TANAH SUBUR BAGI BENIH INJIL.
Judul ini seakan memberi arti penting bagi kita supaya tetap menghargai dan menggali kebudayaan Balim itu bagi benih Injil. Ada banyak pedoman hidup baik dan jatih diri orang Balim yang perlu digali. Judul itu juga mengungkapkan kegelisahan ketika tenaga pastoral kurang menghayati inkulturasi sebagai kewajiban  dalam penginjilan. Tenaga-tenaga pastoral yang ada di Lembah Balim amat kurang (9 paroki hanya dilayani oleh 3 imam dan 1 suster).
 Lorens Resi Purek, OFM
 Biara Sang Surya
 Jln. Sosiri no 7 Abepura
 Jayapura- Papua
 Telp: 0967 581844
Ada ungkapan yang biasa dilontarkan oleh masyarakat luar tentang Kabupaten Jayawijaya, khususnya Kota Wamena, “ Kalau anda ke Tanah Papua namun tidak menginjakkan kaki di Kota Wamena, maka belum lengkaplah perjalanan anda di Tanah Papua.” Atau dengan ungkapan lain, “ Jangan pernah mengatakan bahwa anda sudah pernah  ke Papua kalau belum menginjakkan kaki di Wamena dan menikmati keindahan alamnya dan menyaksikan berbagai atraksi budayanya yang sangat terkenal.” 
A. Letak dan keadaan Geografis
Kabupaten Jayawijaya adalah salah satu kabupaten lama di Provinsi Papua ( dulu bernama Irian Jaya). Kabupaten ini beribu kota di Wamena yang terletak di Lembah Baliem, tepat di jantung Papua. Lembah baliem sangat terkenal, mungkin lebih terkenal ketimbang Jayawijaya atau Wamena. Dalam literature asing Lembah Baliem juga sering disebut sebagai Lembah Agung.Kabupaten Jayawijaya  terletak antara 138 30’ sampai 13940’ Bujur Timur, dan antara 3045’ sampai 4020’ Lintang Selatan. Kabupaten ini merupakan daerah lembah dan pegunungan, tidak bersentuhan dengan daerah Pantai.Batas-batas wilayah Kabupaten Jayawijaya adalah : 
a.       Utara : Kab. Membramo Tengah, Yalimo, dan Tolikara
b.      Selatan : Kab.Nduga dan Yahukimo
c.       Timur : Kab.Yahukimo dan Yalimo
d.      Barat : Kab.Nduga
Sebelum  pemekaran luas wilayah Kabupaten Jayawijaya adalah 52.916 kilometer atau sekitar 12,58 % dari wilayah Provinsi Papua. Namun, setelah pemekaran yang terakhir pada tahun 2008 menjadi 8.496 kilometer persegi.

B. Topografi dan Iklim
Wilayah kabupaten Jayawijaya bervariasi, dari dataran rendah sampai pegunungan. Sekitar 80 % daerah ini tidak dihuni. Kemiringannya sekitar 65%, ketinggian antara 1500-5000 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar terdiri dari gunung-gunung, bukit dan lembah yang memiliki tanah yang sangat subur.Lembah Baliem dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena puncak-puncak salju abadinya, antara lain : Puncak Trikora ( 4.750 m), Puncak Mandala ( 4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m). Pegunungan ini amat menarik bagi wisatawan dan peniliti ilmu pengetahuan alam karena puncaknya yang selalu ditutupi salju walaupun berada di daerah tropis. Lereng gunung yang terjal dan lembah sungai yang sempit dan curam menjadi cirri khas pegunungan ini. Cekungan lembah sungai yang cukup luas hanya terdapat di Lembah Baliem Barat dan Lembah Baliem Timur (Wamena).Vegetasi alam hutan tropis basah di dataran rendah member peluang pada hutan iklim sedang berkembang cepat di lembah ini.Temperatur udara bervariasi antara 140 samapai 260 dan dibeberapa tempat sering terjadi hujan es. Curah hujan cukup tinggi rata-rata 190 mm tiap bulan dan berlaku sepanjang tahun. 

C. Flora dan Fauna
Kabupaten Jayawjaya banyak memiliki spisies baik flora maupun fauna . Kabupaten Jayawijaya menjadi habitat yang baik bagi berbagai jenis anggrek langka dan tanaman lain. Spesies burung bisa ditemui burung serell, cenderawasih, Kaka tua, nuri, belibis, kasuari dan lain sebagainya.Beberapa spesies hewan langka yang terncam punah di daerah ini antara lain, udang serack, burung serell, cenderawasih merah, anggrek, buah merah dan lebah madu.  Sejarah Kabupaten Jayawijaya berkaitan erat dengan sejarah perkembangan gereja di wilayah ini. Seperti daerah lainnya di Papua dulu Jayawijya merupakan daerah yang terisolasi dari daerah luar. Tetapi sejak tahun 1950-an para Misionaris dari luar Negeri mulai berdatangan dan melakukan penginjilan di daerah ini.Lembah baliem ditemukan secara tidak sengaja oleh Richard Archbold, ketua tim ekspedisi yang disponsori oleh American museum of Natural History melihat adanya lembah hijau luas dari kaca jendela pesawat yang mereka tumpangi pada tanggal 23 Juni 1938. Tim ekspedisi ini mendarat di Danau Habema dari sana mereka berjalan menuju lembah Baliem melalui lembah Ibele.Pada tanggal 20 april 1954, sejumlah misionaris dari Amerika Serikat tiba di lembah Baliem termasuk Dr. Myron Bromley, tim misionaris ini mendarat di sungai Baliem tepatnya di desa Minimo dengan tujuan utama memperkenalkan agama Nasrani kepada Suku Dani di Lembah Baliem. Stasiun pertama misionaris didirikan di Hitigima. Nama Asli Wamena dulunya adalah “Amoa” yang berarti tempat bertemu orang banyak. Namun ada beberapa pendapat mengenai asal usul nama Wamena . ada yang berpendapat Nama Wamena berasal dari Bahasa Suku Dani yakni Wa dan Mena yang berarti babi jinak, itu sebabnya ciri khas cenderamata kota ini adalah foto atau gambar seorang wanita yang sedang menyusui seekor babi. Ada juga pendapat mengenai kata Wamena berhubungan dengan kedatangan tim pertama Misionaris ke lembah ini, tugas pertama mereka adalah membangun lapangan terbang di dekat kali Uwe (Uweima), ini kemudian timbul pendapat yang mengatakan asal mula kata Wamena berasal dari kata Uweima artinya pinggir kali Uwe, yang oleh pendatang diucapkan dengan dialeg yang salah menjadi Wamena. Pendapat ini juga belum tentu benar karena  dalam peta yang dibuat oleh ekspedisi Archbol (1938) kali Uwe juga disebut Wamena. Sementara dalam versi lain  A. Akua menjelaskan dalam bukunya bahwa orang Wio, nama yang umum digunakan untuk daerah Lembah Baliem itu sendiri tidak mengenal suatu tempat dengan nama Wamena. Nama itu diberikan pada tahun 1957-1958 oleh pendeta Jerry Rose yang tinggal dekat lapangan terbang sebagai pengurus barang milik CAMA, pada suatu hari ia melihat mama kandung Kain Wenehule Hubi,Toarekhe Itlay menetekkan anak babinya sambil berkata “yi wam ena oo..” (ini babi piara) oleh karena itu ia menyebut tempat ini Wamena. Namun dalam catatan arsip gereja Katolik pendeta Rose mulai berdomisili di Wamena sejak bulan September 1960 dan tidak pada tahun 1957-1958. Ada pula yang mengatakan Wamena berasal dari kata Wam-Ena  yang berarti sedang memelihara babi. Kabupaten Jayawjaya secara administrative terdiri dari 11 Distrik, 116 kampung, 1 kelurahan (BPS Kabupaten Jayawijaya ,2010). Distrik-distrik itu antara lain :Distrik Wamena, Distrik Assolokobal, Distrik Walelagama, Distrik Hubikosi, Distrik Palebaga, Distrik Asologaima, Distrik Musatfak, Distrik Kurulu, Distrik Bolakme, Distrik Wollo, dan Distrik Yalengga.Jumlah penduduk Kabupaten Jayawijaya berdasarkan data Bapeda jayawijaya than 2009 adalah 193.718 jiwa. Sedangkan berdasarkan BPS hasil sensus 2010 adalah 199.557 jiwa yang terdiri dari 102.581 jiwa laki-laki dan 96,976 jiwa perempuan. Dengan luas wilayah 8.496 kilometer maka kepadatan penduduknya kira-kira 23 jiwa per kilometer persegi.Terdapat 3 suku besar yang mendiami Jayawijaya yaitu Suku Ngalum, Suku Dani, Suku Yali dan suku-suku lainnya. Sedangkan untuk pendatang banyak dari Suku Makassar, Bugis, Toraja, Jawa, Batak,Minang, Madura dll.

 Agama- Agama mayoritas penduduk adalah Kristen. Mayoritas penduduk Asli memeluk Kristen karena pengaruh misionaris yang sudah lama dan focus untuk menyebarkan injil di Papua, sedangkan penduduk yang beragama Islam kebanyakan adalah pendatang, tetapi ada beberapa daerah yang masyarakat pribumi memeluk Islam Seperti di Distrik Walesi, Megapura, Hitigima, Air Garam dll. 
Umbi-umbian merupakan salah satu makanan pokok penduduk Jayawijaya. Umbi-umbian ini disebut juga Hipere. Masyarakat mayoritas bermata pencaharian sebagai petani.  Objek WisataJalan-jalan di Wamena sebaiknya memiliki rencana yang jelas. Kita harus mempertimbangkan juga harga-harga yang sangat tinggi di sini. Kita bisa memilih mobil, motor, sepeda , becak atau angkutan umum. Untuk rental mobil sehari biasanya 800.000, sedangkan harga bensin eceran 20.000/ liter, naik ojek ongkos sekali jalan dalam kota biasanya 10.000 , becak perjalanan dalam kota 10.000. sedangkan angkutan umum dalam kota adalah 4.000. Jangan panik ketika mendengar harga barang-barang yang tinggi, ini disebabkan akses satu-satunya dari Jayapura ke Wamena hanya melalui jalur udara. Dari Jayapura biasanya naik pesawat Trigana Air, Walesi Air atau Merpati Nusantara dengan ongkos Jayapura-wamena sekitar 700.000-900.000 atau bisa juga menggunakan pesawat Hercules dengan ongkos yang lebih murah tapi penumpang harus berdiri.  Sedangkan menuju kabupaten-kabupaten lain di Pegunungan Tengah tidak semuanya bisa langsung dari Jayapura, harus ke Wamena dulu kemudian dari Wamena ditempuh dengan menggunakan peswat-pesawat perintis dan sebagian ada yang bisa ditempuh dengan jalur darat.  Beberapa wisata Alam di Jayawijaya.

1. Jembatan Gantung Wesaput
Jembatan gantung ini terletak di Wesaput, sekitar 2 kilometer di Selatan Wamena. Lokasi ini bisa ditempuh dengan mobil, motor maupun dengan angkutan umum. Jembatan gantung ini pada mulanya dijalin dari rotan kemudian diperkuat dengan kawat baja.mask ke area ini tidak dipungut biaya.

2. Telaga Anegara
Telaga ini memiliki panjang 1 kilometer dan lebar 100 meter. Selain pemandangannya yang indah, daya tarik telaga ini adalah Desa Anegara yang berada di dekat telaga. Telaga ini terletak 38 kilometer dari Kota Wamena. Dan dapat dicapai dengan 45 menit berkenderaan. 

3.  Gua Kontilola
Gua ini memiliki stalagmite dan stalagtit yang sangat indah. Di dasar gua terdapat sungai dengan air yang mengalir. Gua ini terletak di Desa Abusa, Distrik Kurulu, sekitar 20 menit perjalanan dari kota Wamena.
 4. Gua Wihuda
Gua ini bercabang di dalamnya. Cabang sebelah kiri memiliki panjang sekitar 100 meter, sedangkan cabang sebelah kanan panjangnya sekitar 905 meter. Gua ini terletak di Desa Wosilimo,Distrik Kurulu.

5. Telaga Biru Maima
Telaga biru Maima diyakini mengandung misteri tentang asal usul lahirnya manusia di Lembah Baliem. Telaga biru Maima yang dalam bahasa daerah berarti “tempat di bawah dimana ada air”. Airnya selalu berwarna biru kehijau-hijauan.6.       Sumber Air Garam di Atas Gunung
Berada di desa Jiwika dapat di tempuh dari Kota Wamena selama 20 menit. Kemudian untuk ke tempat air asin butuh waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam dengan berjalan kaki. Wisata Budaya.


1. Mumi Aikima
Merupakan manusia yang diawetkan, disebut dengan mumi Aikima karena terleak di Desa Aikima, Distrik Kurulu. Berjarak sekitar 5 Km dari Wamena, bisa ditempuh dengan kendraan roda empat atau roda 2, pemandangan yang bagus akan kita dapatkan sepanjang perjalanan ke sana. Mumi Aikima berasal dari seorang kepala suku besar yang pernah menguasai lembah Baliem yang bernama Werupak Elosak. Kepala suku ini dikenal ramah dan bijaksana sehingga untuk menghormatinya maka jasadnya tidak dibakar atau dikubur melainkan diawetkan. Selain di Aikima terdapat 2 mumi lain, salah satunya terletak di Desa Jiwika (15 KM dari Wamena) yang berusia sekitar 300 tahun  dan di Desa Pumo/Asologaima ( 33 KM dari Wamena ) yang berusia sekitar 250 tahun.

2. Museum Pilamo
Museum ini terletak di desa Wesaput ,di dalam Museum ini memamerkan beberapa produk budaya dari masyarakat Lembah Baliem. Museum ini dibka dari jam 8 pagi hingga jam 5 sore seiap hari. Pada hari libur dibuka sampai jam 4 sore. Koleksi museum ini diantaranya senjata-senjata tradisional yang digunakan dalam perang antar suku pada masa lampau. Senjata tersebut dinamakan Apwerek. 

3. Patung Ukumiarek
Patung yang sangat dihargai oleh penduduk Wamena ini adalah patung kepala suku yang terbunuh ketika terjadi perang antar suku Asokobal dan Suku Wiles. Patung ini merupakan symbol keberanian masyarakat Lembah Baliem yang berpartisipasi pada pilihan kebebasan penduduk pada tahun 1969. Patung Ukumiarek berwujud seorang laki-laki yang memakai Horim ( Sarung untuk menutup aurat dari bahan akar liar) serta ikat tradisional yang merupakan symbol keberanian seorang pejuang Lembah Baliem. Tangan kanan Patung ini memegang sebuah kapak batu sedangkan tangan kirinya memegang sebuah tombak.

 4. Festival Lembah Baliem
Festival Lembah baliem mempertunjukkan budaya suku-suku di Lembah Baliem. Festival ini sangat terkenal sampai ke Mancanegara sehingga biasanya banyak menarik turis Mancanegara pada bulan Agustus. Festival ini dilaksanakan menyambut tanggal 17 Agustus. Dalam festival ini dipertunjukkan atraksi perang-perangan dan juga berbagai atraksi yang menjadi tradisi suku-suku di sekitar Lembah Baliem seperti lomba pacu babi, lomba memainkan alat music dll.



Ayob Inubat
Ayob Inubat

This is a short biography of the post author. Maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec vitae sapien ut libero venenatis faucibus nullam quis ante maecenas nec odio et ante tincidunt tempus donec.

Tidak ada komentar: