Lorens
Resi Purek, OFM :Peluncuran dan bedah buku Sejarah Gereja Katolik di Lembah
Balim.
Wa…Wa...wa...itulah ungkapan khas dari Lembah Balim, tempat buku ini
disusun yang saat ini akan dibedah. Kami senang karena semua sudah datang untuk
berdiskusi dalam acara ini, peluncuran buku sejarah gereja katolik. Trimakasih
atas plihan dan kesediaan menggunakan tempat ini sebagai pembedah buku.
Tutur
Ketua Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur Abepura P.Dr. Neles Tebay,Pr
dalam kegiatan peluncuran dan pembedaan buku Sejarah Gereja katolik di Lembah
Baliem Papua karya PATER FRANS LIESHOUT OFM Rabu 14 April 2010 di Aula St.
Yoseph STFT Fajar Timur Abepura Papua. Moderator yang mengawasi jalan kegiatan
ilmiah ini adalah Drs.Abdon Bisei M.Hum dengan pembedah I Pater Frans Lieshout
OFM dan pembedah II Pater Wilhelmus Gonsalit Saur OFM. Hadir dalam kegiatan ini
wakil dari pemerintah Propinsi Papua ketua Majelis Rakyat Papua Drs. Agus Alua,
segenap masyarakat Balim yang berada di Kota Jayapura, pengurus OMK dari beberapa
paroki di kota Jayapura, suster DSY dan para dosen beserta segenap mahasiswa
STFT Fajar Timur.
Menurut
P. Dr. Neles Tebay, Pr Sekolah Tinggi Filsafat Teologi Fajar Timur
sebagai lembaga pendidikan diharapkan punya banyak kegaitan ilmiah. Saya melihat
bahwa apa yang akan kita diskusikan ini sangat bermakana, karena penulisnya
adalah pelaku sejarah Punya arti bagi perkembangan Gereja di Lembah Balim.
Pater Frans adalah pelaku yang mengukir sejarah itu. Apa yang ditulis tidak
terlepas dari pengalamannya sebagai pelaku sejarah. Apa yang dia buat dan lihat
itulah yang ditulisnya. Sejarah Gereja katolik yang disusun itu adalah
sejarah misi. Bgaimana Kristus diwartakan di Lembah Balim. Misionaris datang
tidak membawah Alllah ke Papua tetapi ditarik oleh Allah yang dihidupi dan
dipahami oleh orang Papua. Bagaimana Allah hadir dan berkarya dalam
budaya setempat. Dalam budaya Balim ada nilai unggul sebagaimana ada dalam
benih benih Injil. Ini menjadi indicator bahwa di Papua ada juga nilai-nilai
unggul.
Pastor
Frans Lieshout, OFM cukup rendah hati dan adaptasi dengan umat, maka ia
menemukan nilai-nilai itu. Hal itu bahwa dalam suku-sua lain juga ada nilai
unggul. Ini juga bisa menjadi bahan belajar untuk mashasiswa dan para pastor.
Kita ditantang untuk mendengarkan sambil belajar budaya masyarakat
setempat. Dengar apa yang mereka katakan dan apa yang ada di balikya. Ini
adalah tantangan bagi kita. Bagi para pastor orang Papua, hal ini menjadi modal
dasar bagi anda kalian melihat nilai unggul dalam budaya kita maisng-masing
sebagaimana yang dituangkan buku ini. Penting bagi kita untuk diketahui
bersama bahwa dalam setiap budaya Papua ada nialai-nilai unggul. Sejarah Gereja
Katolik, maka perspektif misionaris juga masuk. Kalau oleh soerang Balim pasti
perspektifnya juga berbeda. Mereka akan bertanya bagaimana reaksi kami? Dengan
hal ini menjadi tantangan bagi teman-teman dari Balim untuk bagaimana memberi
respon terhadap sejarah perkembangan Gereja di Lembah Balim. Kita punya 2
perpspektif sejarah,menurut siapa? Terima kasih untuk Pastor Frans sudah
menulis sebagai ungkapan rasa cinta terhadap umat Balim. Lebih jauh itu menjadi
bentuk ungkapan cinta Pater untuk kita semua.
BEDAH
BUKU
Diawali
dengan pembacaan Curicum Vitae yang dituangkan dalam buku oleh moderator; Drs.
Abdon Bisei M.Hum. Menurutnya baca buku sejarah dapat ditinjau dari
dua sisi yaitu; Pertama titik ideologi, untuk kepentingan siapa
buku ini ditulis?
Penerimaan
akan apa yang terjadi. Ketika dibaca bisa saja mendatangkan kesenangan dan
jengkel, tetapi bagaimana bisa dipikirikan untuk masa depan.
Kedua,
ditulis oleh mereka yang menang perang, tetapi kita lupa bahwa butuh budak
untuk mengelilingi.
Ketika
membaca buku pater Frans, pada halaman 127 diuraikan bahwa satu orang yang
melawan pemerintah &an Gereja, dibunuh, oleh pater ditulis
sebagai Pahlawan. Fransiskus berpesan kepada para pengikutnya bahwa kita
pergi untuk temukan Allah dalam pewartaan dan tinggal dengan mereka. Pater
Frans Lieshaout,OFM mengawali pembicaraanya dengan mengucapkan terima kasih
kepada Pater Dr. Neles Tebay, Pr, para pembesar yang hadir dan
calon-calon pastor atas waktu dan kesempatan untuk memperkenalkan buku
ini. Buku ini cukup tebal dan hurufnya besar. Ada 2 judul: ..” dan simbol.
Penulisnya seorang pastor, OFM ungkapan kebanggaan sebagai aggota fransiskan.
Menurutnya sumber-sumber yang digunakan untuk menyusun buku ini adalah laporan
arsip di keuskupan Jayapura, pengalaman senidri, dokumen para misionaris
lainnya dan bantuan banyak pihak.
Menurut
P. Frans Lieshout,OFM buku ini ditulis pertama-tama karena banyak orang
Balim yang berkeinginan untuk mengetahui tentang sejarah awal mula
perkembangan Gereja di Lembah Balim. Sejarah keselamatan masyarakat itu sangat
manusiawi. P.Frans Lieshout,OFM mengharapkan bahwa suatu ketika
akan ada juga putra daerah menulis sejarah yang sama dari perspektif
masyarakat. Dan mudahan memperbaiki bahasa sesuai bahasa Indonesia. Tahun 2000,
arsip menjadi kurus, tidak ada lagi laporan dari pastor-pastor. Di jaman HP
yang beredar begitu laris tidak ada lagi yang berniat untuk mencatat.
Isi
buku sejarah Gereja di Balim: Sejarah dilihat dalam konteksnya, lebih dahulu
diuraikan soal berbagai ekspedisi yang dilakukan di Lembah Balim. Ekspedisi
dengan arogan untuk merubah nama gunung, kita beri nama yang sama Puncak
Trikora, seakan-akan masyaakat tidak punya nama asli untuk itu. Diuraikan juga
mengenai kecelakaan pesawat, dan sejak saat itu terjadi suatu lomba dari
pemerintah dan Gereja untuk biar masuk di Lembah agung itu. CAMA (Christian and
Missionary Alliance) yang pertama kali masuk. Katolik pada 1958 oleh Patr Arie
Blokdijk, OFM yang sebelumnya bertugas di Kerom dan berjalan kaki ke Lembah
Balim lewat kampung Molof dan selanjutnya ke Membramo. Namun ia tidak sampai di
Lembah Balim karena perahu yang dibeli dari masyarakat untuk perjalanan mereka
hanyut terbawa banjir. Akhirnya P. Kammerer, OFM bersama guru Martinus
Songgonau, Yonas Mote dan tuju pembantu lainnya berangkat dari Enarotali/Kugapa
ke arah timur.
Pada
tanggal 5 Januari 1954 mereka tiba di sungai Yugume (Balim Timur). Mereka
sampai di sini saja dan tidak melanjutkan perjalanannya karena para
pengantarnya tidak sanggup lagi untuk jalan serta takut dibunuh oleh orang
Dani. Pater Arie Blokdijk,OFM akhirnya berhasil masuk ke Balim dan mendapat
sebuh tenda sekutu. Berbeda, biasanya diperlihatkan pastor datang dengan salib,
jubah, karena Tuhan mencipatkan manusia, suku-suku dengan bahasanya
sendiri-sendri. Orang harus mulai dengar dan lihat. Menurut kepala suku Kurulu
( salah satu kepala suku di Balim ), Ia mengambil air dan memberi minum kepada
misionaris itu sebagai ungkapan bahwa kamu harus minum, kamu harus terima dari
kami dulu. Baru kamu omong apa yang kau mau ceritakan perihal pewartaan yang
kamu bawa.
Orang
Balim, bisa buat kesalahan besar, tetapi mereka bisa mengampuni. Setelah semua
itu, dapat dibuka pos misi, diusahakan menjadi shabat seorang kepala suku. Di
situ mulailah Gereja dengan kehadirannya mampu untuk belajar bahasa setempat.
melihat orang-orang setempat dan mulai membuat pelayanan sederhana; misalya,
melalui pengobatan. Dalam perkembangannya satu setengah tahun kemudian, dimulai
dengan pendidian formal.
Ini
menjadi suatu pendekatan khas gereja Katolik di mana-mana. Dengan demikian
masyarakt mau maju maka pendidikan formal adalah hal mutlak. Dibukalah kursus
pertanian, kursus katekis, dengan sangat sederhana,tuhkan tetapi dengan
semangat besar, aka mulailah pewarataan, walaupun waktu itu tidak ada kuliah.
Dibutuhkan kreatifitas yang besar.
Tahun
1970, mulai berkembang semangat masyarakat untuk menyadari kehadiran
Greja muda itu. Ada kesadaran yang timbul bahwa gereja menjadi milik mereka
sendiri. Kita adalah Gereja. Dan ini cocok dengan kepribadian orang Balim yang
suka mandiri. Di kelompok pewrata/Pembina Umat, ada 9 paroki setiap paroki
mempuna cerita dan kesan awal tersediri. Dibentuklah Badan Musawarah Paroki,
sehingga orang yang sudah dibaptis juga bisa menjadi anggora BM. Hal ini
sangat membantun masyaraakt, untuk menyatukan Injil dengan program hari-hari
perdausaraan: dialog antara adat dan Injil. Hasil yang dirasakan adalah
semakin berkembangnya gereja hingga sekarang.
Hal
yang istimewa aldalah meskipun uskup dulu melarang untuk membuka pos di daerah
protestan, tetapi tanpa usaha dari misioanris terjadilah bahwa daerah Ilugua,
Gume-Tiom, Kurima, Saminage, dibuka oleh Roh Kudus melalui kepala suku.
Sebagaimana dengan subj udul yang diuraikan oleh P.Frans Lieshout,OFM;
Bilamana benih injil ditaburkan di sembagaran tempat, tanpa menghiraukan budaya
Balim, maka sama dengan menarburkan benih di semak berduri. Siapa saja yang
bertugas di Balim tidak mungkin mengabaikan budaya masyarakat. Menurutnya
kebudayaan adalah kekayaan spiritual. Katolik bertitik tolak dari pandangan
bahwa sebelum Injil masuk sudah ada bekas kaki Allah. Sebagaimana yang
diungkapkan oleh Yesus bahwa Ia tidak datang untuk meniadakan nilai budaya
melainkan untuk menyempurnakannya.
Ada
pengalaman indah yang dikisahkan. Waktu ekspedesi Lorenzt, dengan ratusan orang
jalan kaki dari Asmat menuju ke Pegunungangan. Mereka khawatir kalau bertemu
dengan orang-orang jahat. Mereka membawa pasukan untuk mengawal perjalanan ini.
Setelah mereka tiba dan berhadapan dengan orang pegungugnan. Mereka telanjang,
hitam, dan militerpun siaga. Justru apa yang terjadi orang gunung datang dan
jabat tangan. Anggota ekspedisi heran karena disalami. Orang primitif justru
tidak berhati jahat. Dihidangkan juga daging babi. Kepala ekspedisi diminta
untuk membagi, tapi dia cicipi dulu. Akhirnya, ditegur karena harus membagi
kepada teman serombongan. Setelah tinggal beberapa lama bersama masyarakat
setempat, mereka menemukan bahwa orang pegunungan punya teknologi pertanian.
Mereka lebih heran lagi. Karl Muhler juga menuturkan bahwa dulu orang Papua
boleh merasa berbangga, karena sudah ada pertanian di sana. Ada rasa kagum yang
mendalam. Rasa kagum itu, terus dipupuk. Dunia luar banyak belajar dari
pegunungan ini. Rugi kalau hilang Program gereja dan pemerintah, kurang
memperhitungkan kearifan budaya lokal ini.
Ada
kesenjangan yang nampak yaitu sekarang perhatian gereja keuskupan lebih
difokuskan pada OMK, padahal orang tua juga dirasa penting. Karena
seakan-akaan pohon yang dipotong dari akar. Ada konflik yang nampak antara
gereja Katolik dan Jayawijaya. Tahun 1970 pemerintah menginstruksikan untuk
melepaskan budaya dan dilepaskan oleh masyarakat. Gereja Katolik protes akan
hal demikian, sehingga pemerintah provinsi juga melibatkan diri.
P.Frans
Lieshout,OFM mengangkat contoh yang menonjol adalah tantangan poligami.
Menurutnya setelah 50 tahun penginjilan poligami tidak berkurang berarti. 30%
bapak keluarga Balim poligami, ibu -ibu 50% hidup dalam poligami.
Perintah Yesus untuk membaptis, kecuali yang 40% poigami. Sekarang ini
25% yang sudah dibaptis poligami lagi. Berdasarkan aturan Gereja mereka
tidak boleh dibaptis dan komuni lagi. Timbul pertanyaan apakah ada perintah
Yesus yang melarang orang-orang yang poligami untuk tidak dibaptis?
Tahun-tahun
terakhir, ada gejala yang sangat berpengaruh yatiu, sekarang tidak ada pastor
awam lagi. Jadi pelayanan pastoral hanya dijalankan oleh seorang imam.
Akibatnya ada 9 paroki di dekenat Jawawijaya, 6 paroki tidak mempunyai
pastor. Pelayanan juga hanya difokuskan pada sakramental, sekarang hampir
separoh umat katolik yang belum dibaptis, tidak mendapat pelayanan lagi. Orang
Muda Katolik dirangkul dan orang tua dianaktirikan. Defakto inkulturasi:
studi budaya dan bahasa hampir tidak lagi dihidupi. Ini tidak terjadi
lagi.
Pastor
GONZA: Kesan pertama pater frans sangat mengesankan. Bahasa sebagai jalan
memahami pikiran masyarakat setempat. Waktu membaca buku ini saya merasa
senang, karena bisa membaca dan bisa melihat. melihat teks....Kita tahu sejarah
dan selanjutnya bisa membuat apa dengan Gereja ke depan. Ini membutuhkan
kerja keras dan melahirkan banyak penderitaan karena tidak bisa harus
ditulis.
Kekuatan
misioanaris mereka adalah pola pendekatan mereka. Pendekatan inkulturatif
sangat menentukan pelayanan. Bahasa adalah tantangan dan tuntutan yang harus
dipenuhi dan dikuasai. Pembaptisan baru dilakukan setelah 4-5 tahun. Mereka
bina dulu baru baptis.
P.Frans
Liesthout memberi judl buku tersebut: SEJARAH GEREJA KATOLIK DI LEMBAH BALIM-
PAPUA: KEBUDAYAAN BALIM TANAH SUBUR BAGI BENIH INJIL.
Judul ini seakan memberi arti penting bagi kita supaya tetap menghargai dan
menggali kebudayaan Balim itu bagi benih Injil. Ada banyak pedoman hidup baik
dan jatih diri orang Balim yang perlu digali. Judul itu juga mengungkapkan
kegelisahan ketika tenaga pastoral kurang menghayati inkulturasi sebagai
kewajiban dalam penginjilan. Tenaga-tenaga pastoral yang ada di Lembah
Balim amat kurang (9 paroki hanya dilayani oleh 3 imam dan 1 suster).
Lorens Resi Purek, OFM
Biara Sang Surya
Jln. Sosiri no 7 Abepura
Jayapura- Papua
Telp: 0967 581844
Ada
ungkapan yang biasa dilontarkan oleh masyarakat luar tentang Kabupaten
Jayawijaya, khususnya Kota Wamena, “ Kalau anda ke Tanah Papua namun tidak
menginjakkan kaki di Kota Wamena, maka belum lengkaplah perjalanan anda di
Tanah Papua.” Atau dengan ungkapan lain, “ Jangan pernah mengatakan bahwa anda
sudah pernah ke Papua kalau belum menginjakkan kaki di Wamena dan
menikmati keindahan alamnya dan menyaksikan berbagai atraksi budayanya yang
sangat terkenal.”
A.
Letak dan keadaan Geografis
Kabupaten
Jayawijaya adalah salah satu kabupaten lama di Provinsi Papua ( dulu bernama
Irian Jaya). Kabupaten ini beribu kota di Wamena yang terletak di Lembah
Baliem, tepat di jantung Papua. Lembah baliem sangat terkenal, mungkin lebih
terkenal ketimbang Jayawijaya atau Wamena. Dalam literature asing Lembah Baliem
juga sering disebut sebagai Lembah Agung.Kabupaten
Jayawijaya terletak antara 138 30’ sampai 1390 40’
Bujur Timur, dan antara 3045’ sampai 4020’ Lintang
Selatan. Kabupaten ini merupakan daerah lembah dan pegunungan, tidak
bersentuhan dengan daerah Pantai.Batas-batas wilayah Kabupaten Jayawijaya
adalah :
a. Utara
: Kab. Membramo Tengah, Yalimo, dan Tolikara
b. Selatan : Kab.Nduga dan Yahukimo
c. Timur : Kab.Yahukimo dan Yalimo
d. Barat : Kab.Nduga
Sebelum pemekaran
luas wilayah Kabupaten Jayawijaya adalah 52.916 kilometer atau sekitar 12,58 %
dari wilayah Provinsi Papua. Namun, setelah pemekaran yang terakhir pada tahun
2008 menjadi 8.496 kilometer persegi.
B.
Topografi dan Iklim
Wilayah
kabupaten Jayawijaya bervariasi, dari dataran rendah sampai pegunungan. Sekitar
80 % daerah ini tidak dihuni. Kemiringannya sekitar 65%, ketinggian antara
1500-5000 meter di atas permukaan laut. Sebagian besar terdiri dari
gunung-gunung, bukit dan lembah yang memiliki tanah yang sangat subur.Lembah
Baliem dikelilingi oleh Pegunungan Jayawijaya yang terkenal karena
puncak-puncak salju abadinya, antara lain : Puncak Trikora ( 4.750 m), Puncak
Mandala ( 4.700 m) dan Puncak Yamin (4.595 m). Pegunungan ini amat menarik bagi
wisatawan dan peniliti ilmu pengetahuan alam karena puncaknya yang selalu
ditutupi salju walaupun berada di daerah tropis. Lereng gunung yang terjal dan
lembah sungai yang sempit dan curam menjadi cirri khas pegunungan ini. Cekungan
lembah sungai yang cukup luas hanya terdapat di Lembah Baliem Barat dan Lembah
Baliem Timur (Wamena).Vegetasi alam hutan tropis basah di dataran rendah member
peluang pada hutan iklim sedang berkembang cepat di lembah ini.Temperatur udara
bervariasi antara 140 samapai 260 dan
dibeberapa tempat sering terjadi hujan es. Curah hujan cukup tinggi rata-rata
190 mm tiap bulan dan berlaku sepanjang tahun.
C.
Flora dan Fauna
Kabupaten
Jayawjaya banyak memiliki spisies baik flora maupun fauna . Kabupaten Jayawijaya
menjadi habitat yang baik bagi berbagai jenis anggrek langka dan tanaman lain.
Spesies burung bisa ditemui burung serell, cenderawasih, Kaka tua, nuri,
belibis, kasuari dan lain sebagainya.Beberapa spesies hewan langka yang terncam
punah di daerah ini antara lain, udang serack, burung serell, cenderawasih
merah, anggrek, buah merah dan lebah madu. Sejarah Kabupaten
Jayawijaya berkaitan erat dengan sejarah perkembangan gereja di wilayah ini.
Seperti daerah lainnya di Papua dulu Jayawijya merupakan daerah yang terisolasi
dari daerah luar. Tetapi sejak tahun 1950-an para Misionaris dari luar Negeri
mulai berdatangan dan melakukan penginjilan di daerah ini.Lembah baliem
ditemukan secara tidak sengaja oleh Richard Archbold, ketua tim ekspedisi yang
disponsori oleh American museum of Natural History melihat adanya lembah hijau
luas dari kaca jendela pesawat yang mereka tumpangi pada tanggal 23 Juni 1938.
Tim ekspedisi ini mendarat di Danau Habema dari sana mereka berjalan menuju
lembah Baliem melalui lembah Ibele.Pada tanggal 20 april 1954, sejumlah
misionaris dari Amerika Serikat tiba di lembah Baliem termasuk Dr. Myron
Bromley, tim misionaris ini mendarat di sungai Baliem tepatnya di desa Minimo
dengan tujuan utama memperkenalkan agama Nasrani kepada Suku Dani di Lembah
Baliem. Stasiun pertama misionaris didirikan di Hitigima. Nama Asli Wamena
dulunya adalah “Amoa” yang berarti tempat bertemu orang banyak. Namun ada
beberapa pendapat mengenai asal usul nama Wamena . ada yang berpendapat Nama
Wamena berasal dari Bahasa Suku Dani yakni Wa dan Mena yang berarti babi jinak,
itu sebabnya ciri khas cenderamata kota ini adalah foto atau gambar seorang
wanita yang sedang menyusui seekor babi. Ada juga pendapat mengenai kata Wamena
berhubungan dengan kedatangan tim pertama Misionaris ke lembah ini, tugas
pertama mereka adalah membangun lapangan terbang di dekat kali Uwe (Uweima),
ini kemudian timbul pendapat yang mengatakan asal mula kata Wamena berasal dari
kata Uweima artinya pinggir kali Uwe, yang oleh pendatang diucapkan dengan
dialeg yang salah menjadi Wamena. Pendapat ini juga belum tentu benar
karena dalam peta yang dibuat oleh ekspedisi Archbol (1938) kali Uwe
juga disebut Wamena. Sementara dalam versi lain A. Akua
menjelaskan dalam bukunya bahwa orang Wio, nama yang umum digunakan untuk
daerah Lembah Baliem itu sendiri tidak mengenal suatu tempat dengan nama
Wamena. Nama itu diberikan pada tahun 1957-1958 oleh pendeta Jerry Rose yang
tinggal dekat lapangan terbang sebagai pengurus barang milik CAMA, pada suatu hari
ia melihat mama kandung Kain Wenehule Hubi,Toarekhe Itlay menetekkan anak
babinya sambil berkata “yi wam ena oo..” (ini babi piara) oleh karena itu ia
menyebut tempat ini Wamena. Namun dalam catatan arsip gereja Katolik pendeta
Rose mulai berdomisili di Wamena sejak bulan September 1960 dan tidak pada
tahun 1957-1958. Ada pula yang mengatakan Wamena berasal dari kata
Wam-Ena yang berarti sedang memelihara babi. Kabupaten
Jayawjaya secara administrative terdiri dari 11 Distrik, 116 kampung, 1
kelurahan (BPS Kabupaten Jayawijaya ,2010). Distrik-distrik itu antara lain
:Distrik Wamena, Distrik Assolokobal, Distrik Walelagama, Distrik Hubikosi,
Distrik Palebaga, Distrik Asologaima, Distrik Musatfak, Distrik Kurulu, Distrik
Bolakme, Distrik Wollo, dan Distrik Yalengga.Jumlah penduduk Kabupaten
Jayawijaya berdasarkan data Bapeda jayawijaya than 2009 adalah 193.718 jiwa.
Sedangkan berdasarkan BPS hasil sensus 2010 adalah 199.557 jiwa yang terdiri
dari 102.581 jiwa laki-laki dan 96,976 jiwa perempuan. Dengan luas wilayah
8.496 kilometer maka kepadatan penduduknya kira-kira 23 jiwa per kilometer
persegi.Terdapat 3 suku besar yang mendiami Jayawijaya yaitu Suku Ngalum, Suku
Dani, Suku Yali dan suku-suku lainnya. Sedangkan untuk pendatang banyak dari
Suku Makassar, Bugis, Toraja, Jawa, Batak,Minang, Madura dll.
Agama- Agama
mayoritas penduduk adalah Kristen. Mayoritas penduduk Asli memeluk Kristen
karena pengaruh misionaris yang sudah lama dan focus untuk menyebarkan injil di
Papua, sedangkan penduduk yang beragama Islam kebanyakan adalah pendatang,
tetapi ada beberapa daerah yang masyarakat pribumi memeluk Islam Seperti di
Distrik Walesi, Megapura, Hitigima, Air Garam dll.
Umbi-umbian
merupakan salah satu makanan pokok penduduk Jayawijaya. Umbi-umbian ini disebut
juga Hipere. Masyarakat mayoritas bermata pencaharian sebagai
petani. Objek WisataJalan-jalan di Wamena sebaiknya memiliki rencana
yang jelas. Kita harus mempertimbangkan juga harga-harga yang sangat tinggi di
sini. Kita bisa memilih mobil, motor, sepeda , becak atau angkutan umum. Untuk
rental mobil sehari biasanya 800.000, sedangkan harga bensin eceran 20.000/
liter, naik ojek ongkos sekali jalan dalam kota biasanya 10.000 , becak
perjalanan dalam kota 10.000. sedangkan angkutan umum dalam kota adalah 4.000. Jangan
panik ketika mendengar harga barang-barang yang tinggi, ini disebabkan akses
satu-satunya dari Jayapura ke Wamena hanya melalui jalur udara. Dari Jayapura
biasanya naik pesawat Trigana Air, Walesi Air atau Merpati Nusantara dengan
ongkos Jayapura-wamena sekitar 700.000-900.000 atau bisa juga menggunakan
pesawat Hercules dengan ongkos yang lebih murah tapi penumpang harus
berdiri. Sedangkan menuju kabupaten-kabupaten lain di Pegunungan
Tengah tidak semuanya bisa langsung dari Jayapura, harus ke Wamena dulu
kemudian dari Wamena ditempuh dengan menggunakan peswat-pesawat perintis dan
sebagian ada yang bisa ditempuh dengan jalur darat. Beberapa wisata
Alam di Jayawijaya.
1.
Jembatan Gantung Wesaput
Jembatan
gantung ini terletak di Wesaput, sekitar 2 kilometer di Selatan Wamena. Lokasi
ini bisa ditempuh dengan mobil, motor maupun dengan angkutan umum. Jembatan
gantung ini pada mulanya dijalin dari rotan kemudian diperkuat dengan kawat
baja.mask ke area ini tidak dipungut biaya.
2. Telaga
Anegara
Telaga
ini memiliki panjang 1 kilometer dan lebar 100 meter.
Selain pemandangannya yang indah, daya tarik telaga ini adalah Desa
Anegara yang berada di dekat telaga. Telaga ini terletak 38 kilometer dari Kota
Wamena. Dan dapat dicapai dengan 45 menit berkenderaan.
3.
Gua Kontilola
Gua
ini memiliki stalagmite dan stalagtit yang sangat indah. Di dasar gua terdapat
sungai dengan air yang mengalir. Gua ini terletak di Desa Abusa, Distrik
Kurulu, sekitar 20 menit perjalanan dari kota Wamena.
4.
Gua Wihuda
Gua
ini bercabang di dalamnya. Cabang sebelah kiri memiliki panjang sekitar 100
meter, sedangkan cabang sebelah kanan panjangnya sekitar 905 meter. Gua ini
terletak di Desa Wosilimo,Distrik Kurulu.
5.
Telaga Biru Maima
Telaga
biru Maima diyakini mengandung misteri tentang asal usul lahirnya manusia di
Lembah Baliem. Telaga biru Maima yang dalam bahasa daerah berarti “tempat di
bawah dimana ada air”. Airnya selalu berwarna biru
kehijau-hijauan.6. Sumber Air Garam di
Atas Gunung
Berada di desa Jiwika dapat di tempuh dari Kota Wamena selama 20 menit.
Kemudian untuk ke tempat air asin butuh waktu sekitar 1,5 sampai 2 jam dengan
berjalan kaki. Wisata Budaya.
1. Mumi
Aikima
Merupakan
manusia yang diawetkan, disebut dengan mumi Aikima karena terleak di Desa Aikima,
Distrik Kurulu. Berjarak sekitar 5 Km dari Wamena, bisa ditempuh dengan
kendraan roda empat atau roda 2, pemandangan yang bagus akan kita dapatkan
sepanjang perjalanan ke sana. Mumi Aikima berasal dari seorang kepala suku
besar yang pernah menguasai lembah Baliem yang bernama Werupak Elosak. Kepala
suku ini dikenal ramah dan bijaksana sehingga untuk menghormatinya maka
jasadnya tidak dibakar atau dikubur melainkan diawetkan. Selain di Aikima
terdapat 2 mumi lain, salah satunya terletak di Desa Jiwika (15 KM dari Wamena)
yang berusia sekitar 300 tahun dan di Desa Pumo/Asologaima ( 33 KM
dari Wamena ) yang berusia sekitar 250 tahun.
2.
Museum Pilamo
Museum
ini terletak di desa Wesaput ,di dalam Museum ini memamerkan beberapa produk
budaya dari masyarakat Lembah Baliem. Museum ini dibka dari jam 8 pagi hingga
jam 5 sore seiap hari. Pada hari libur dibuka sampai jam 4 sore. Koleksi museum
ini diantaranya senjata-senjata tradisional yang digunakan dalam perang antar
suku pada masa lampau. Senjata tersebut dinamakan Apwerek.
3.
Patung Ukumiarek
Patung
yang sangat dihargai oleh penduduk Wamena ini adalah patung kepala suku yang
terbunuh ketika terjadi perang antar suku Asokobal dan Suku Wiles. Patung ini
merupakan symbol keberanian masyarakat Lembah Baliem yang berpartisipasi pada
pilihan kebebasan penduduk pada tahun 1969. Patung Ukumiarek berwujud seorang
laki-laki yang memakai Horim ( Sarung untuk menutup aurat dari bahan akar liar)
serta ikat tradisional yang merupakan symbol keberanian seorang pejuang Lembah
Baliem. Tangan kanan Patung ini memegang sebuah kapak batu sedangkan tangan
kirinya memegang sebuah tombak.
4. Festival
Lembah Baliem
Festival
Lembah baliem mempertunjukkan budaya suku-suku di Lembah Baliem. Festival ini
sangat terkenal sampai ke Mancanegara sehingga biasanya banyak menarik turis
Mancanegara pada bulan Agustus. Festival ini dilaksanakan menyambut tanggal 17
Agustus. Dalam festival ini dipertunjukkan atraksi perang-perangan dan juga
berbagai atraksi yang menjadi tradisi suku-suku di sekitar Lembah Baliem
seperti lomba pacu babi, lomba memainkan alat music dll.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar