Kalau kita berbicara masalah tanah papua, banyak
pertanyaan-pertanyaan yang muncul coba mengamati pertanyaan ini, Mengapa rakyat
Papua Barat ingin merdeka di luar Indonesia? Mengapa rakyat Papua Barat masih
tetap meneruskan perjuangan mereka? Kapan mereka mau berhenti berjuang?
Ada empat faktor yang mendasari keinginan rakyat Papua Barat untuk
memiliki negara sendiri yang merdeka dan berdaulat di luar penjajahan manapun,
yaitu:
1) Latar Belakang
Sejarah
2) HAK
3) Budaya
4) Realitas
Sekarang
Latar belakang
Sejarah
Kecuali Indonesia
dan Papua Barat sama-sama merupakan bagian penjajahan Belanda, kedua bangsa ini
sungguh tidak memiliki garis paralel maupun hubungan politik sepanjang
perkembangan sejarah. adalah sebagai berikut:
Sebelum adanya penjajahan
asing, setiap suku, yang telah mendiami Papua Barat sejak lebih dari 50.000
tahun silam, dipimpin oleh kepala-kepala suku (tribal leaders). Untuk beberapa
daerah, setiap kepala suku dipilih secara demokratis sedangkan di beberapa
daerah lainnya kepala suku diangkat secara turun-temurun. Hingga kini masih
terdapat tatanan pemerintahan tradisional di beberapa daerah, di mana, sebagai
contoh, seorang Ondofolo masih memiliki kekuasaan tertentu di daerah Sentani
dan Ondoafi masih disegani oleh masyarakat sekitar Yotefa di Numbai. Dari dalam
tingkat pemerintahan tradisional di Papua Barat tidak terdapat garis politik
vertikal dengan kerajaan-kerajaan kuno di Indonesia ketika itu.
Rakyat Papua Barat
memiliki sejarah yang berbeda dengan Indonesia dalam menentang penjajahan
Belanda dan Jepang. Misalnya, gerakan Koreri di Biak dan sekitarnya, yang pada
awal tahun 1940-an aktif menentang kekuasaan Jepang dan Belanda, tidak memiliki
garis komando dengan gerakan kemerdekaan di Indonesia ketika itu. Gerakan Koreri,
di bawah pimpinan Stefanus Simopiaref dan Angganita Menufandu, lahir
berdasarkan kesadaran pribadi bangsa Melanesia untuk memerdekakan diri di luar
penjajahan asing.
Lamanya penjajahan
Belanda di Indonesia tidak sama dengan lamanya penjajahan Belanda di Papua
Barat. Indonesia dijajah oleh Belanda selama sekitar 350 tahun dan berakhir
ketika Belanda mengakui kemerdekaan Indonesia pada 27 Desember 1949. Papua
Barat, secara politik praktis, dijajah oleh Belanda selama 64 tahun (1898-1962).
Batas negara Indonesia
menurut proklamasi kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945 adalah dari »Aceh
sampai Ambon«, bukan dari »Sabang sampai Merauke«. Mohammed Hatta (almarhum),
wakil presiden pertama RI dan lain-lainnya justru menentang dimasukkannya Papua
Barat ke dalam Indonesia (lihat Karkara lampiran I, pokok Hindia Belanda oleh
Ottis Simopiaref).
Pada Konferensi
Meja Bundar (24 Agustus – 2 November 1949) di kota Den Haag (Belanda) telah
dimufakati bersama oleh pemerintah Belanda dan Indonesia bahwa Papua Barat tidak
merupakan bagian dari negara Republik Indonesia Serikat (RIS). Status
Nieuw-Guinea akan ditetapkan oleh kedua pihak setahun kemudian. (Lihat lampiran
II pada Karkara oleh Ottis Simopiaref).
Papua Barat pernah
mengalami proses dekolonisasi di bawah pemerintahan Belanda. Papua Barat telah
memiliki bendera national »Kejora«, »Hai Tanahku Papua« sebagai lagu kebangsaan
dan nama negara »Papua Barat«. Simbol-simbol kenegaraan ini ditetapkan
oleh New Guinea Raad / NGR (Dewan New Guinea). NGR didirikan pada
tanggal 5 April 1961 secara demokratis oleh rakyat Papua Barat bekerjasama
dengan pemerintah Belanda. Nama negara, lagu kebangsaan serta bendera telah
diakui oleh seluruh rakyat Papua Barat dan pemerintah Belanda.
Dari 1 Oktober
1962 hingga 1 Mei 1963, Papua Barat merupakan daerah perwalian PBB di
bawahUnited Nations Temporary Executive Authority (UNTEA) dan dari tahun
1963 hingga 1969, Papua Barat merupakan daerah perselisihan internasional
(international dispute region). Kedua aspek ini menggaris-bawahi sejarah Papua
Barat di dunia politik internasional dan sekaligus menunjukkan perbedaannya
dengan perkembangan sejarah Indonesia bahwa kedua bangsa ini tidak saling
memiliki hubungan sejarah.
Pernah diadakan
plebisit (Pepera) pada tahun 1969 di Papua Barat yang hasilnya diperdebatkan di
dalam Majelis Umum PBB. Beberapa negara anggota PBB tidak setuju dengan hasil
Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat) karena hanya merupakan hasil rekayasa
pemerintah Indonesia. Adanya masalah Papua Barat di atas agenda Majelis Umum
PBB menggaris-bawahi nilai sejarah Papua Barat di dunia politik internasional.
Ketidaksetujuan beberapa anggota PBB dan kesalahan PBB dalam menerima hasil
Pepera merupakan motivasi untuk menuntut agar PBB kembali memperbaiki sejarah
yang salah. Kesalahan itu sungguh melanggar prinsip-prinsip PBB sendiri.
(Silahkan lihat lebih lanjut pokok tentang Pepera dalam Karkara oleh Ottis
Simopiaref).
Rakyat Papua
Barat, melalui pemimpin-pemimpin mereka, sejak awal telah menyampaikan berbagai
pernyataan politik untuk menolak menjadi bagian dari RI. Frans Kaisiepo
(almarhum), bekas gubernur Irian Barat, pada konferensi Malino 1946 di Sulawesi
Selatan, menyatakan dengan jelas bahwa rakyatnya tidak ingin dihubungkan dengan
sebuah negara RI (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society).
Johan Ariks (alm.), tokoh populer rakyat Papua Barat pada tahun 1960-an,
menyampaikan secara tegas perlawanannya terhadap masuknya Papua Barat ke dalam
Indonesia (Plunder in Paradise oleh Anti-Slavery Society). Angganita
Menufandu (alm.) dan Stefanus Simopiaref (alm.) dari Gerakan Koreri, Raja Ati
Ati (alm.) dari Fakfak, L.R. Jakadewa (alm.) dari DVP-Demokratische Volkspartij,
Lodewijk Mandatjan (alm.) dan Obeth Manupapami (alm.) dari PONG-Persatuan Orang
Nieuw-Guinea, Barend Mandatjan (alm.), Ferry Awom (alm.) dari Batalyon Papua,
Permenas Awom (alm.), Jufuway (alm.), Arnold Ap (alm.), Eliezer Bonay (alm.),
Adolf Menase Suwae (alm.), Dr. Thomas Wainggai (alm.), Nicolaas Jouwe, Markus
Wonggor Kaisiepo dan lain-lainnya dengan cara masing-masing, pada saat yang
berbeda dan kadang-kadang di tempat yang berbeda memprotes adanya penjajahan
asing di Papua Barat.
Hak
Kemerdekaan adalah
“Hak” berdasarkan Deklarasi Universal HAM (Universal Declaration on Human
Rights) yang menjamin hak-hak individu dan berdasarkan Konvenant Internasional
Hak-Hak Sipil dan Politik yang menjamin hak-hak kolektif di dalam mana hak
penentuan nasib sendiri (the right to self-determination) ditetapkan. “All
peoples have the right of self-determination. By virtue of that right they
freely determine their political status and freely pursue their economic,
social and cultural development – Semua bangsa memiliki hak penentuan
nasib sendiri. Atas dasar mana mereka bebas menentukan status politik mereka
dan bebas melaksanakan pembangunan ekonomi dan budaya
mereka” (International Covenant on Civil and Political Rights, Article 1).
Nation is used in the meaning of People (Roethof 1951:2) and can be
distinguished from the concept State – Bangsa digunakan dalam arti Rakyat
(Roethof 1951:2) dan dapat dibedakan dari konsep Negara (Riop Report No.1).
Riop menulis bahwa sebuah negara dapat mencakup beberapa bangsa, maksudnya
kebangsaan atau rakyat (A state can include several nations, meaning
Nationalities or Peoples).
Ada dua
jenis the right to self-determination (hak penentuan nasib sendiri),
yaitu external right to self-determination dan internal right to
self-determination. External right to self-determination yaitu hak
penentuan nasib sendiri untuk mendirikan negara baru di luar suatu negara yang
telah ada. Contoh: hak penentuan nasib sendiri untuk memiliki negara Papua
Barat di luar negara Indonesia. External right to self-determination, or
rather self-determination of nationalities, is the right of every nation to
build its own state or decide whether or not it will join another state, partly
or wholly (Roethof 1951:46) – Hak external penentuan nasib sendiri, atau
lebih baiknya penentuan nasib sendiri dari bangsa-bangsa, adalah hak dari
setiap bangsa untuk membentuk negara sendiri atau memutuskan apakah bergabung
atau tidak dengan negara lain, sebagian atau seluruhnya (Riop Report No.1).
Jadi, rakyat Papua Barat dapat juga memutuskan untuk berintegrasi ke dalam
negara tetangga Papua New Guinea. Perkembangan di Irlandia Utara dan Irlandia
menunjukkan gejala yang sama. Internal right to self-determination yaitu hak
penentuan nasib sendiri bagi sekelompok etnis atau bangsa untuk memiliki daerah
kekuasaan tertentu di dalam batas negara yang telah ada. Suatu kelompok etnis
atau suatu bangsa berhak menjalankan pemerintahan sendiri, di dalam batas
negara yang ada, berdasarkan agama, bahasa dan budaya yang dimilikinya. Di
Indonesia dikenal Daerah Istimewa Jogyakarta dan Daerah Istimewa Aceh.
Pemerintah daerah-daerah semacam ini biasanya dilimpahi kekuasaan otonomi
ataupun kekuasaan federal. Sayangnya, Jogyakarta dan Aceh belum pernah
menikmati otonomi yang adalah haknya.
Menurut (Jack
Donnely), hak asasi manusia adalah hak-hak yang dimiliki manusia semata-mata
karena ia manusia. Umat manusia memilikinya bukan karena diberikan kepadanya
oleh masyarakat atau berdasarkan hukum positif, melainkan semata-mata
berdasarkan martabatnya sebagai manusia. Sementara (Meriam
Budiardjo), berpendapat bahwa hak asasi manusia adalah hak yang dimiliki
manusia yang telah diperoleh dan dibawanya bersamaan dengan kelahirannya di
dalam kehidupan masyarakat. Dianggap bahwa beberapa hak itu dimilikinya tanpa
perbedaan atas dasar bangsa, ras, agama, kelamin dan karena itu bersifat
universal.
Hak asasi manusia
juga terdapat banyak makna yakni; Hak hidup, Hak Bersuara/berbicara, dan berhak
untuk Menentukan Nasib Sendiri, sebagai sebuah Negara. Bahwa sesunggunya
Kemerdekaan adalah Hak segala Bangsa di atur dalam Undang-undang dasar 1945 dan
Undang-undang Internbasional.
Negara punya tugas
dan tanggung jawab adalah menjaga dan melindungi Rakyatnya pasal 30 UUD 1945.
Pasal 30 UUD 1945 terdiri dari 5 ayat Salah satunya “Kepolisian Negara Republik
Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat
bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum”,
tetapi Aparat keamanan dalam hal (Tni-Polri) melakukan Proyek
Berdarah di Tanah Papua. Kenyataannya Hukum Negara (Indonesia) bisa
di bayar dengan Rupiah “Uang”.
Negara piara
Pelanggaran hak Asasi Manusia (HAM) Papua, berawal pasca aneksasi Papua ke
dalam Indonesia Sejak 1961. Proses pengintegrasian Papua ke dalam wilayah
Indonesia melalui cara-cara yang tidak beradab (tidak Manusiawi). Pemaksaan
dengan kekerasan Kekuatan militer menjadi pilihan waktu itu, hingga
sampai saat ini Praktek Kekejaman Militer (Tni-Polri) masih berlanjut.
Bukti Kekerasam
Militer terhadap rakyat Papua adalah benar-benar murni pelanggaran Ham Terbesar
dunia, Karena Papua memiliki “Gudang Pelanggaran Ham” mulai sejak tahun
1961-2012 satu kasus pun tidak Pernah selesaikan secara murni Hukum dan
Undang-undang Negara Indonesia, yang adil, Jujur, benar dan Teratur. Tapi
kenyataannya tidak terlaksana dengan baik. Kekerasan dan tindakan pelanggaran
HAM ini, lanjutnya, dianggap telah menyakiti hati rakyat Papua sebagai Manusia
Ciptaan MAhakuasa.
Karena hanya demi vestasi asing aparat TNI/Polri dengan kejam membunuh
rakyat Papua. Hal ini juga semakin membuktikan bahwa watak rezim SBY-Boediono
merupakan anti demokrasi dan anti terhadap HAM. Cerita tentang korban kekerasan
aparat keamanan terhadap warga sipil di negara ini cukup banyak. Bahkan tak
terhitung jumlahnya dan tak terdata dengan baik.
Selain itu, akibat
dari dwifunsi itu melahirkan penderitaan dan kesengsaraan bagi rakyat. Kita
kenal banyak orang mati dibantai dalam peristiwa G30-S/PKI, Aceh, Tanjung
Priok, Lampung, Maluku Pencaplokan Timor-Timur dan Papua Barat. Banyak
orang telah menjadi korban penculikan, penyiksaan, penghilangan paksa,
pemenjaraan, dan juga perempuan-perempuan menjadi korban perkosaan. Para petani
digusur tanahnya dan mereka mengalami ancaman teror dan intimidasi oleh aparat
keamanan.
Budaya
Rakyat Papua
Barat, merupakan bagian dari rumpun bangsa atau ras Melanesia yang berada di
Pasifik, bukan ras Melayu di Asia. Rakyat Papua Barat memiliki budaya
Melanesia. Bangsa Melanesia mendiami kepulauan Papua (Papua Barat dan Papua New
Guinea), Bougainville, Solomons, Vanuatu, Kanaky (Kaledonia Baru) dan Fiji.
Timor dan Maluku, menurut antropologi, juga merupakan bagian dari Melanesia.
Sedangkan ras Melayu terdiri dari Jawa, Sunda, Batak, Bali, Dayak, Makassar,
Bugis, Menado, dan lain-lain. Menggunakan istilah ras di sini sama sekali tidak
bermaksud bahwa saya menganjurkan rasisme. Juga, saya tidak bermaksud
menganjurkan nasionalisme superior ala Adolf Hitler (diktator Jerman pada
Perang Dunia II).
Adolf Hitler menganggap bahwa ras Aria (bangsa Germanika) merupakan manusia
super yang lebih tinggi derajat dan kemampuan berpikirnya daripada manusia asal
ras lain. Rakyat Papua Barat sebagai bagian dari bangsa Melanesia merujuk pada
pandangan Roethof sebagaimana terdapat pada ad 1 di atas.
Realitas Sekarang
Rakyat Papua Barat
menyadari dirinya sendiri sebagai bangsa yang terjajah sejak adanya kekuasaan
asing di Papua Barat. Kesadaran tersebut tetap menjadi kuat dari waktu ke waktu
bahwa rakyat Papua Barat memiliki identitas tersendiri yang berbeda dengan
bangsa lain.
Di samping itu, penyandaran diri setiap kali pada identitas pribadi yang adalah
dasar perjuangan, merupakan akibat dari kekejaman praktek-praktek kolonialisme
Indonesia. Perlawanan menjadi semakin keras sebagai akibat dari (1) penindasan
yang brutal, (2) adanya ruang-gerak yang semakin luas di mana seseorang dapat
mengemukakan pendapat secara bebas dan (3) membanjirnya informasi yang masuk
tentang sejarah Papua Barat. Rakyat Papua Barat semakin mengetahui dan mengenal
sejarah mereka. Kesadaran merupakan basis untuk mentransformasikan realitas,
sebagaimana almarhum Paulo Freire (profesor Brasilia dalam ilmu pendidikan)
menulis. Semangat juang menjadi kuat sebagai akibat dari kesadaran itu sendiri.
Pada tahun 1984
terjadi exodus besar-besaran ke negara tetangga Papua New Guinea dan empat
pemuda Papua yaitu Jopie Roemajauw, Ottis Simopiaref, Loth Sarakan (alm.) dan
John Rumbiak (alm.) memasuki kedutaan besar Belanda di Jakarta untuk meminta
suaka politik. Permintaan suaka politik ke kedubes Belanda merupakan yang
pertama di dalam sejarah Papua Barat. Gerakan yang dimotori Kelompok Musik-Tari
Tradisional, Mambesak (bahasa Biak untuk Cendrawasih) di bawah pimpinan Arnold
Ap (alm.) merupakan manifestasi politik anti penjajahan yang dikategorikan
terbesar sejak tahun 1969. Kebanyakan anggota Mambesak mengungsi dan
berdomisili di Papua New Guinea sedangkan sebagian kecil masih berada dan aktif
di Papua Barat.
Dr. Thomas
Wainggai (alm.) memimpin aksi damai besar pada tanggal 14 Desember 1988 dengan
memproklamirkan kemerdekaan negara Melanesia Barat (Papua Barat). Setahun
kemudian pada tanggal yang sama diadakan lagi aksi damai di Numbai (nama
pribumi untuk Jayapura) untuk memperingati 14 Desember. Dr. Thom Wainggai
dijatuhkan hukuman penjara selama 20 tahun, namun beliau kemudian meninggal
secara misterius di penjara Cipinang. Papua Barat dilanda berbagai protes
besar-besaran selama tahun 1996. Tembagapura bergelora bagaikan air mendidih
selama tiga hari (11-13 Maret). Numbai terbakar tanggal 18 Maret menyusul
tibanya mayat Thom Wainggai. Nabire dijungkir-balik selama 2 hari (2-3 Juli).
Salah satu dari aksi damai terbesar terjadi awal Juli 1998 di Biak, Numbai, Sorong
dan Wamena, kemudian di Manokwari. Salah satu pemimpin dari gerakan bulan Juli
1998 adalah Drs. Phillip Karma. Drs. P. Karma bersama beberapa temannya sedang
ditahan di penjara Samofa, Biak sambil menjalani proses pengadilan. Gerakan
Juli 1998 merupakan yang terbesar karena mencakup daerah luas yang serentak
bergerak dan memiliki jumlah massa yang besar.
Gerakan Juli 1998 terorganisir dengan baik dibanding gerakan-gerakan
sebelumnya. Di samping itu, Gerakan Juli 1998 dapat menarik perhatian dunia melalui
media massa sehingga beberapa kedutaan asing di Jakarta menyampaikan peringatan
kepada ABRI agar menghentikan kebrutalan mereka di Papua Barat. Berkat Gerakan
Juli 1998 Papua Barat telah menjadi issue yang populer di Indonesia dewasa
ini.
Di samping sukses yang telah dicapai terdapat duka yang paling dalam bahwa
menurut laporan dari PGI (Persekutuan Gereja Indonesia) lebih dari 140 orang
dinyatakan hilang dan kebanyakan mayat mereka telah ditemukan terdampar di
Biak. Menurut laporan tersebut, banyak wanita yang diperkosa sebelum mereka
ditembak mati. Realitas penuh dengan represi, darah, pemerkosaan, penganiayaan
dan pembunuhan, namun perjuangan tetap akan dilanjutkan. Rakyat Papua Barat
menyadari dan mengenali realitas mereka sendiri. Mereka telah mencicipi betapa
pahitnya realitias itu. Mereka hidup di dalam dan dengan suatu dunia yang penuh
dengan ketidakadilan, namun kata-kata Martin Luther King masih disenandungkan
di mana-mana bahwa »We shall overcome someday!« (Kita akan menang suatu
ketika!).
Masa depan : Tidak diikut-sertakannya rakyat Papua Barat sebagai subjek
masalah di dalam Konferensi Meja Bundar, New York Agreement yang
mendasari Act of Free Choice, Roma Agreement dan lain-lainnya
merupakan pelecehan hak penentuan nasib sendiri yang dilakukan oleh pemerintah
(state violence) dalam hal ini pemerintah Indonesia dan Belanda.
(Untuk Roma Agreement, silahkan melihat lampiran pada Karkara oleh Ottis
Simopiaref). Rakyat Papua Barat tidak diberi kesempatan untuk memilih secara
demokratis di dalam Pepera. Act of Free Choice disulap artinya oleh
pemerintah Indonesia menjadi Pepera. Di sini terjadi manipulasi pengertian
dari Act of Free Choice (Ketentuan Bebas Bersuara) menjadi Penentuan
Pendapat Rakyat (Pepera). Ortiz Sans sebagai utusan PBB yang mengamati jalannya
Pepera melaporkan bahwa rakyat Papua Barat tidak diberikan kebebasan untuk
memilih. Ketidakseriusan PBB untuk menerima laporan Ortiz Sans merupakan
pelecehan hak penentuan nasib sendiri. PBB justru melakukan pelecehan HAM
melawan prinsip-prinsipnya sendiri. Ini merupakan motivasi di mana rakyat Papua
Barat akan tetap berjuang menuntut pemerintah Indonesia, Belanda dan PBB agar
kembali memperbaiki kesalahan mereka di masa lalu. Sejak pencaplokan pada 1 Mei
1963, pemerintah Indonesia selalu berpropaganda bahwa yang pro kemerdekaan
Papua Barat hanya segelintir orang yang sedang bergerilya di hutan. Tapi,
Gerakan Juli 1998 membuktikan yang lain di mana dunia telah menyadari bahwa
jika diadakan suatu referendum bebas dan adil maka rakyat Papua Barat akan
memilih untuk merdeka di luar Indonesia. Rakyat Indonesia pun semakin menyadari
hal ini.
Menurut catatan
sementara, diperkirakan bahwa sekitar 400 ribu orang Papua telah meninggal
sebagai akibat dari dua hal yaitu kebrutalan ABRI dan kelalaian politik
pemerintah. Sadar atau tidak, pemerintah Indonesia telah membuat sejarah hitam
yang sama dengan sejarah Jepang, Jerman, Amerikat Serikat, Yugoslavia dan
Rwanda. Jepang kemudian memohon maaf atas kebrutalannya menduduki beberapa
daerah di Asia-Pasifik pada tahun 1940-an. Sentimen anti Jerman masih terasa di
berbagai negara Eropa Barat. Ini membuat para pemimpin dan orang-orang Jerman
menjadi kaku jika mengunjungi negara-negara yang pernah didukinya, apalagi ke
Israel. Berbagai media di dunia pada 4 Desember 1998 memberitakan penyampaian
maaf untuk pertama kali oleh Amerika Serikat (AS) melalui menteri
luarnegerinya, Madeleine Albright. “Amerika Serikat menyesalkan
»kesalahan-kesalahan yang amat sangat« yang dilakukannya di Amerika Latin
selama perang dingin”, kata Albright. AS ketika itu mendukung para diktator
bersama kekuatan kanan yang berkuasa di Amerika Latin di mana terjadi
pembantaian terhadap berjuta-juta orang kiri. Semoga Indonesia akan bersedia
untuk merubah sejarah hitam yang ditulisnya dengan memohon maaf kepada rakyat
Papua Barat di kemudian hari. Satu per satu para penjahat perang di bekas
Yugoslavia telah diseret ke Tribunal Yugoslavia di kota Den Haag, Belanda.
Agusto Pinochet, bekas diktator di Chili, sedang diperiksa di Inggris untuk diekstradisikan
ke Spanyol. Dia akan diadili atas terbunuhnya beribu-ribu orang selama dia
berkuasa di Chili. Suatu usaha sedang dilakukan untuk mendokumentasikan
identitas dan kebrutalan para pemimpin ABRI di Papua Barat. Dokumentasi
tersebut akan digunakan di kemudian hari untuk menyeret para pemimpin ABRI ke
tribunal di Den Haag. Akhir tahun ini (1998) dunia membuka mata terhadap
beberapa daerah bersengketa (dispute regions), yaitu Irlandia Utara, Palestina
dan Polisario (Sahara Barat). Kedua pemimpin di Irlandia Utara yang masih
dijajah Inggris menerima Hadiah Perdamaian Nobel (Desember 1998). Bill Clinton,
presiden Amerikat, yang mengunjungi Palestina, tanggal 14 Desember 1998,
mendengar pidato dari Yaser Arafat bahwa daerah-daerah yang diduki di Palestina
harus ditinggalkan oleh Israel. Sekretaris Jenderal PBB, Kofi Annan, yang
mengadakan tour di Afrika Utara mampir di Aljasaria untuk mencoba menengahi
konflik antara Front Polisario dan Maroko. Front Polisario dengan dukungan
Aljasaria masih berperang melawan Maroko yang menduduki Polisario
(International Herald Tribune, Nov. 30, 1998). Mengapa ada konflik di Irlandia
Utara, Palestina dan Polisario? Karena rakyat-rakyat di sana menuntut hak
mereka dan memiliki budaya serta latar-belakang sejarah yang berbeda dari
penjajah yang menduduki negeri mereka. Realitas sekarang menunjukkan bahwa
rakyat-rakyat di sana masih tetap berjuang untuk membebaskan diri dari
penjajahan. Realitas sekarang di Papua Barat membuktikan adanya perlawanan
rakyat menentang penjajahan Indonesia. Ini merupakan manifestasi dari makna
faktor-faktor budaya, latar-belakang sejarah yang berbeda dari Indonesia dan
terlebih hak sebagai dasar hukum di mana rakyat Papua Barat berhak untuk
merdeka di luar Indonesia.
Sejarah Papua
Barat telah menjadi kuat, sarat, semakin terbuka dan kadang-kadang meledak.
Perjuangan kemerdekaan Papua Barat tidak pernah akan berhenti atau dihentikan
oleh kekuatan apapun kecuali ketiga faktor (hak, budaya dan latarbelakang
sejarah) tersebut di atas dihapuskan keseluruhannya dari kehidupan manusia
bermartabat. Rakyat Papua Barat akan meneruskan perjuangannya untuk menjadi
negara tetangga yang baik dengan Indonesia. Rakyat Papua Barat akan meneruskan
perjuangannya untuk menjadi bagian yang setara dengan masyarakat internasional.
Perjuangan akan dilanjutkan hingga perdamaian di Papua Barat tercapai.
Anak-anak, yang orang-tuanya dan kakak-kakaknya telah menjadi korban kebrutalan
ABRI tidak akan hidup damai selama Papua Barat masih merupakan daerah jajahan.
Mereka akan meneruskan perjuangan kemerdekaan Papua Barat. Mereka akan
meneriakkan pekikan Martin Luther King, pejuang penghapusan perbedaan warna
kulit di Amerka Serikat, “Lemparkan kami ke penjara, kami akan tetap
menghasihi. Lemparkan bom ke rumah kami, dan ancamlah anak-anak kami, kami
tetap mengasihi”. Rakyat Papua Barat mempunyai sebuah mimpi yang sama dengan
mimpinya Martin Luther King, bahwa »kita akan menang suatu ketika«.
Sumber: Fokuspapua.com
Penulis : Ayob Tabuni
Tidak ada komentar:
Posting Komentar